Kompetisi dan Kolaborasi dalam Membangun Mutu Pendidikan
Oleh: Sriady Faisal, S. Pd (Kepala SDN 003 Sei Menggaris)
Nunukan, 25 Juli 2019
Manusia terlahir sebagai makhluk individu dengan karakteristik yang unik. Manusia sebagai makhluk individu diciptakan dengan segudang potensi. Individu mempunyai sisi lahiriah dan batiniah, jasmani dan rohani, serta raga dan jiwa. Potensi manusia sebagai makhluk individu terus berkembang seiring dengan hasrat ingin dikenal, ingin dihargai dan ingin memanfaatkan potensi diri kepada orang lain. Proses ini dinamakan beraktualisasi. Proses beraktualisasi menjadi cikal bakal lahirnya kompetisi antar individu. Kompetisi sering diartikan sebagai persaingan atau perlombaan menjadi individu yang terbaik. Dalam Perspektif agama dikenal istilah fastabikul khairat yang artinya maka berlomba-lomba dalam kebaikan.
Manusia juga diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Pada awal penciptaan Adam sebagai individu, secara manusiawi sangat merasakan kesendirian dan kesepian. Maka diciptakanlah Hawa sebagai pendamping hidupnya yang kemudian beranak pinak menjadi umat manusia yang menempati dunia hingga saat ini. Manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan untuk saling melengkapi, saling bergotong royong, mendorong hadirnya rasa kebersamaan atau bisa disebut pula dengan istilah kolaborasi. Kolaborasi adalah berbagi peran dan potensi tanpa harus melupakan jati diri.
Hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial haruslah berjalan seiring. Paham yang terlalu mementingkan aspek individu manusia akan melahirkan budaya liberalisme yakni kompetisi dan persaingan bebas tanpa batas. Siapa yang kuat dialah yang menang. Sementara Paham yang terlalu mengedepankan prinsip sama rata, sama rasa, melahirkan budaya sosialisme dan Marxisme. Paham ini tentunya sangat bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.
Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah kompetisi dan kolaborasi dibutuhkan dalam kehidupan manusia?, Atau bahkan biasa muncul pertanyaan mana yang lebih baik kompetisi atau kolaborasi?. Tidak sedikit orang yang mendikotomikan istilah tersebut. Pada penjelasan sebelumnya sudah terjawab yakni sebagai individu manusia terlahir dengan potensi masing-masing, kemudian seiring berjalannya waktu mengalami proses aktualisasi bersama individu yang lain. Kompetisi adalah sebuah keharusan dan niscaya adanya. Hidup tanpa kompetisi artinya jalan di tempat, diam, tidak memiliki semangat, tidak termotivasi, dan tiada gairah hidup. Fauzi Asis dalam artikelnya yang dimuat dalam harian Neraca, berjudul Keniscayaan Kompetisi dan Kolaborasi menyebutkan bahwa hidup tanpa kompetisi maka dunia akan sepi, dan tanpa kompetisi maka kreativitas dan inovasi menjadi mati. Demikian pula dengan kolaborasi. Manusia membutuhkan kolaborasi dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kompetisi dalam kehidupan membutuhkan tata kelola yang baik. Kompetisi yang sehat akan melahirkan individu yang mempunyai semangat kerja, daya saing, dan akan melekat karakter pejuang dan pemenang dalam dirinya. Kompetisi yang tidak sehat akan melahirkan individu yang menang secara semu, namun pada hakikatnya mereka telah tereliminasi. Tidak sedikit fenomena dalam kehidupan khususnya dalam dunia pendidikan yang menunjukkan adanya kompetisi yang tidak sehat. Saling sikut, saling menyalahkan, merasa paling benar dan merendahkan kompetitornya, menggunakan segala cara untuk menang, bahkan memarjinalkan para pesaing-pesaingnya. Yang menang merasa paling unggul, merasa paling baik, dan yang kalah merasa dicurangi, iri dan benci terhadap pemenang. Mereka itu bukanlah pemenang melainkan pecundang. Sekali lagi pecundang.
Kompetisi yang tidak sehat harus diminimalisir dan mengubah tata kelola kompetisi menjadi persaingan sehat yang saling memenangkan. Kompetisi yang mengubah cara pandang persaingan win-lose menjadi persaingan win-win. Mengutip dari tulisan pada laman beastudy Dompet Duafa, tata kelola kompetisi yang baik adalah Kolaborasi dalam kompetisi, dan Kompetisi untuk Kolaborasi. Kompetisi yang baik adalah kompetisi yang terorganisir dan hasil dari kompetisi untuk kepentingan bersama.
Apabila cara pandang kolaborasi dalam berkompetisi dan kompetisi untuk kolaborasi diterapkan dalam dunia pendidikan, maka akan menghasilkan produk output pendidikan negara yang berdaya saing. Tidak dipungkiri bahwa budaya kompetisi dalam dunia pendidikan kita belum terkelola dengan baik. Hasil dari kompetisi yang dilaksanakan selama ini masih bersifat individualistik dan didorong oleh motif keserakahan dan ingin menang sendiri. Tidak sedikit prestasi yang telah diraih siswa, tidak sedikit prestasi yang diraih oleh guru, segudang prestasi telah dikantongi oleh sekolah, namun cukup dan hanya terhenti pada perolehan gelar, peringkat dan deretan trofi. Pernahkah terpikir, segala bentuk kemenangan yang diperoleh melalui sebuah kompetisi kita kolaborasikan dengan kompetitor lainnya atau bahkan kepada masyarakat dan pihak lain. Banyak prestasi yang mengendap, banyak kelebihan dan keunggulan yang kemudian terkubur dan hanya terpajang di lemari piala. Banyak prestasi yang kemudian hanya terukir indah dalam piagam penghargaan. Apakah hasil yang diperoleh itu dapat berkontribusi terhadap pendidikan di negara kita secara global?
Budaya berbagi dan memberi dari apa yang diperoleh dalam sebuah kompetisi memang sangat minim. Banyak orang yang terobsesi dan sangat ingin berkompetisi, tapi sangat sedikit yang ingin berkompetisi untuk kolaborasi. Sebagai contoh terdekat, apakah proses pembelajaran di kelas telah menanamkan kesadaran bagi siswa yang punya keunggulan dan prestasi untuk berbagi? apakah guru yang memiliki kelebihan, keunggulan, prestasi juga memiliki kesadaran berbagi dan memberi dengan teman sejawatnya tanpa iming-iming dan imbalan? Pada skala yang lebih luas, apakah sekolah yang berprestasi juga memiliki kesadaran untuk berbagi dan memberi kepada sekolah lain, atau malah diam dan tidak ingin disaingi? Dan seterusnya hingga skala yang lebih luas lagi.
Kompetisi yang sehat dan kemauan berkolaborasi sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Beberapa hal yang menurut penulis dapat diterapkan di sekolah tempat kita mengabdi diantaranya, pertama, bangun kompetisi antar siswa yang sehat dalam pembelajaran di kelas, di sekolah maupun di luar sekolah. Ransang mereka untuk berprestasi dibarengi penguatan dan penghargaan. Tanamkan budaya kerjasama, gotong royong, berbagi dan memberi ilmu dan kelebihan yang dimiliki kepada orang lain. Kedua, Guru memiliki kemauan untuk senantiasa mengupgrade diri agar dapat berdaya saing dan tidak ketinggalan. Terdapat empat kompetensi yang mutlak dikuasai oleh seorang guru yakni kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Dalam petunjuk teknis penilaian kinerja guru tahun 2018 yang diterbitkan oleh Kemendikbud, dari empat kompetensi guru terdapat 14 sub kompetensi dan 78 indikator penilaian kompetensi yang disyaratkan untuk dikuasai oleh guru. Hal lain yang penting bagi guru adalah memberanikan diri ikut serta dalam berbagai ajang kompetisi bukan untuk memperoleh ketenaran melainkan menambah wawasan dalam peningkatan kompetensinya. Yang tak kalah penting guru mempunyai keinginan dan upaya untuk berbagi dan memberi ilmu dan pengalaman kepada teman sejawat baik di sekolah, KKG/MGMP, organisasi profesi PGRI maupun wadah dan kesempatan lainnya. Ketiga, demikian pula dengan satuan pendidikan, selain berkompetisi secara sehat, juga berkolaborasi saling berbagi dan memberi melalui gugus sekolah, sekolah rujukan, sekolah model, maupun sekolah imbas sehingga program pemerintah dalam upaya pemerataan mutu pendidikan dapat tercapai.
Mutu pendidikan dapat dipercepat dengan kompetisi yang sehat, dan melalui kolaborasi akan dicapai mutu pendidikan yang terbaik
Sumber Rujukan:
Beastudy. 2016. “Berkolaborasi dalam Kompetisi, Berkompetisi untuk Kolaborasi. Dompet Duafa (http://www.beastudiindonesia.net/berkolaborasi-dalam-kompetisi-berkompetisi-untuk-kolaborasi/diakses 25 Juli 2019)
Fauzi Asis. 2019. “Keniscayaan Kompetisi dan Kolaborasi”. E-paper Neraca (http://www.neraca.co.id/article/97280/keniscayaan-kompetisi-dan-kolaborasi/diakses 25 Juli 2019)
Kemendikbud. 2018. “Petunjuk Teknis Penilaian Kinerja Guru”. Jakarta