Jangan Dustai Kemuliaan Profesi Guru
Oleh: Sriady Faisal, S. Pd
(Sekretaris PGRI Cabang Nunukan)
Profesi guru sejatinya merupakan pekerjaan yang mulia. Guru adalah sosok pencipta insan cendekia. Masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan, dan kualitas pendidikan sangat ditentukan seberapa baik kualitas gurunya. Jika guru benar - benar menyadari dan memaksimalkan perannya dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik secara profesional, maka harapan yang menempatkan guru sebagai pencipta dan pembangun kekuatan negara benar-benar akan tercapai.
Harapan yang diamanahkan pada pundak guru memang berat dan membutuhkan kerja keras, ikhlas, mawas, dan cerdas dalam mengembannya. Beban kerja 60 Jam pelajaran per minggu yang telah diamanahkan pemerintah dalam Permendikbud nomor 15 tahun 2018, menjadi pro dan kontra bahkan ada kesan terasa berat dalam pelaksanaannya. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila tertanam niat yang tulus dan ikhlas, menjadikan profesi guru sebagai ladang ibadah dalam meraih ridho Tuhan Yang Maha Esa. Tentunya semakin banyak beban kerja maka semakin banyak pula kesempatan untuk beribadah dengan bersungguh-sungguh menjalankan profesinya.
Kemuliaan profesi seorang guru dalam perspektif agama telah menempatkan guru sebagai pekerjaan mulia, yang menjanjikan amal jariyah bagi pengembannya. Amal jariyah merupakan pahala yang terus mengalir dan tak terputus. Dalam agama dikenal ada tiga amalan manusia yang tidak terputus meskipun telah meninggal dunia, yakni sedekah jariyah, anak sholeh, dan ilmu yang bermanfaat. Profesi guru memiliki peluang yang besar untuk memperoleh amal jariyah tersebut. Pertama, sedekah jariyah bukan hanya sebatas sumbangan berupa bangunan tempat ibadah, sekolah dan fasilitas umum yang terus dirasakan manfaatnya, melainkan juga ilmu yang memberikan kemashlahatan untuk kehidupan orang banyak dan manfaatnya dirasakan terus-menerus juga merupakan sedekah jariyah. Sebagai contoh, dengan ditemukannya beberapa peralatan, karya ilmiah, buku dan sejenisnya yang dipatenkan dan memberikan manfaat dan kemudahan bagi kehidupan manusia, juga merupakan amal jariyah. Kedua, terbuka lebar kesempatan bagi guru untuk mencetak anak sholeh dan generasi terbaik di masa yang akan datang. Guru adalah orang tua kedua yang senantiasa menginginkan agar siswanya menjadi generasi yang berkarakter baik spiritual maupun sosial. Karakter yang kuat pada peserta didik menjadi indikator dalam menciptakan generasi yang sholeh dan sholehah. Ketiga, ilmu yang bermanfaat dan diamalkan. Amal jariyah yang ketiga ini memang identik dengan tugas pokok seorang guru. Guru adalah pelita dalam kegelapan, yang mengajarkan siswa dari yang tidak tahu menjadi tahu, guru adalah penyejuk dalam kehausan yang senantiasa menanamkan akhak dan budi pekerti serta membangun karakter jiwa-jiwa yang gersang. Guru adalah pembimbing melangkah ke muka, yang menanamkan life skill serta keterampilan sehingga peserta didik dapat mandiri dalam menyongsong masa depan.
Selanjutnya, kemuliaan seorang guru dalam perspektif kehidupan sosial kemasyarakatan telah menempatkan guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Betapa mulianya kedudukan guru sehingga pikiran, tindak tutur, dan tindak laku seorang guru menjadi teladan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa guru merupakan sosok yang dijadikan contoh dan panutan, sehingga mereka mempercayakan anak-anak mereka diajar, dididik, dilatih dan dibimbing oleh guru di sekolah. Orang tua sangat percaya bahwa guru akan menjadi lentera bagi kehidupan anak-anaknya. Ridwan Afandi dalam bukunya Ilmu sebagai Lentera Kehidupan (2006:61) menyebutkan bahwa guru sebagai seorang pendidik bukan hanya berfungsi sebagai sumber ilmu dalam pembelajaran, melainkan juga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak didik.
Dari uraian tersebut, dapat digambarkan betapa mulianya kedudukan dan profesi seorang guru. Dalam kehidupan bernegara, guru merupakan pembangun kekuatan negara. Dalam perspektif agama, guru merupakan ladang ibadah yang akan menuai amal jariyah meskipun telah meninggal dunia. Dalam Perspektif kehidupan sosial kemasyarakatan, guru merupakan sosok teladan yang digugu dan ditiru pola pikir, tindak tutur, dan tindak lakunya. Namunpun demikian, banyak harapan yang belum sejalan dengan kenyataan. Guru adalah profesi mulia, namun sosok guru bukanlah malaikat yang sempurna, dan dengan serta merta mampu memberikan yang terbaik kepada orang tua, masyarakat, negara dan agama. Tidak sedikit kasus yang menunjukkan adanya tindakan mendustai kemuliaan profesi guru.
Tindakan mendustai kemuliaan profesi guru ada yang bersumber dari diri pribadi guru itu sendiri, maupun dari pihak lain yang dengan sengaja mendiskreditkan kewibawaan seorang guru. Tidak sedikit guru yang pada kenyataannya menunjukkan perilaku yang mendustai kemuliaan profesinya. Sebagai contoh, di sekolah-sekolah banyak terpampang slogan 10 Budaya Malu bagi Guru diantaranya, malu terlambat, malu pulang cepat, malu tidak masuk kerja, malu sering izin, malu tidak taat aturan, malu tidak punya program tiba masa tiba akal, malu tidak berpakaian rapi, malu pekerjaan terbengkalai, malu banyak menuntut hak tidak sadar kewajiban, dan malu tidak berprestasi. Namun bagi sebagian guru slogan tersebut hanyalah sekedar tulisan dan sama sekali tidak menyadari atau bahkan tidak punya malu dengan berbagai dalih atas pelanggarannya. Belum lagi kasus-kasus asusila yang sering dimuat di berita media massa yang benar-benar telah mencoreng kemuliaan profesi guru. Banyaknya kasus-kasus oknum guru, menjadi pemicu munculnya tekanan-tekanan dari pihak lain yang mungkin iri, dan bahkan punya niat melemahkan posisi guru. Dengan mudah mereka membuat generalisasi dan kesimpulan – kesimpulan negatif yang merendahkan martabat guru. Mulai dari sebutan guru pemalas, guru serakah yang taunya hanya menuntut gaji dan tunjangan yang tinggi, guru tidak berkualitas, guru pemarah dan pelanggar hak asasi perlindungan anak dan banyak lagi sebutan negatif lainnya yang muncul. Kasus demi kasus, oknum demi oknum telah menjadi rekaman buruk bahkan menanamkan rasa iri dan benci terhadap guru. Sebagai dampak terburuk dari kesan-kesan negatif tersebut, menyebabkan mudahnya sebagian orang melapor dan memenjarakan guru hanya karena tindakan pendisiplinan siswa cengeng. Semua itu merupakan kausalitas dari fenomena-fenomena negatif yang membuat munculnya generalisasi meskipun hal tersebut sebuah kekeliruan.
Kesan-kesan negatif baik yang bersumber dari pribadi guru maupun pihak lain yang telah mendustai kemuliaan profesi tersebut harus diminimalisir. Penulis menyimpulkan, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru untuk menempatkan profesi guru pada posisi yang mulia antara lain, pertama agar pekerjaan guru tetap mulia dalam perspektif agama, maka seorang guru harus senantiasa memperbaharui niat sebelum memulai aktivitas dan rutinitas di sekolah agar tetap bernilai ibadah di sisiNya. Pada tulisan ini penulis menegaskan bahwa pekerjaan dinilai ibadah bukan berarti kerja tak berbayar. Gaji dan tunjangan yang menurut sebahagian orang sudah tinggi, tidak lain merupakan rezeki, nikmat, hadiah atas profesionalitasnya yang wajib disyukuri oleh guru. Hindari rasa suka mengeluh yang menyebabkan hilangnya rasa syukur dan ingkar atas rezki dan nikmat yang Allah berikan dari gaji dan tunjangan yang kita dapatkan. Jika seorang guru ikhlas berikhtiar melaksanakan tugas mengharap ridho Ilahi, maka tidak akan menghapus amal jariyah yang telah Allah janjikan meskipun pekerjaannya mendapat gaji dan tunjangan. Kedua, dalam perspektif kehidupan bernegara, guru dapat menjadi kekuatan yang membangun kekuatan negara dengan jalan menghidupkan organisasi profesi PGRI. Organisasi profesi adalah sebuah keharusan. Organisasi profesi yang kuat akan menciptakan guru yang profesional, sejahtera dan terlindungi. Melalui organisasi profesi, maka guru memiliki kekuatan besar dalam membangun budaya bangsa. Budaya bangsa yang maju, pada gilirannya akan membangun kekuatan negara. Ketiga, dalam perspektif kehidupan sosial kemasyarakatan, kemuliaan profesi akan terbangun jika guru sadar akan fitrahnya sebagai pribadi yang digugu dan ditiru. Pola pikir, tutur kata, dan tingkah lakunya menjadi barometer suksesnya pendidikan. Guru teladan akan menciptakan rantai pembelajaran yang mencerahkan dan jika diamalkan akan bermanfaat dalam kehidupan. Sebaliknya jika guru memperlihatkan perilaku yang tidak patut, maka akan menciptakan rantai kebodohan dan menyesatkan yang pada gilirannya akan mendatangkan mudhorat.
Sebagai closing statement dari tulisan ini, penulis mengajak diri sendiri dan teman-teman guru satu profesi, mari menjaga dan menempatkan profesi guru pada tempat yang mulia, dan jangan mendustai kemuliaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar