Kamis, 25 Juli 2019

Kompetisi dan Kolaborasi dalam Membangun Mutu Pendidikan 
Oleh: Sriady Faisal, S. Pd (Kepala SDN 003 Sei Menggaris)
Nunukan, 25 Juli 2019


Manusia terlahir sebagai makhluk individu dengan karakteristik yang unik. Manusia sebagai makhluk individu diciptakan dengan segudang potensi. Individu mempunyai sisi lahiriah dan batiniah, jasmani dan rohani, serta raga dan jiwa. Potensi manusia sebagai makhluk individu terus berkembang seiring dengan hasrat ingin dikenal, ingin dihargai dan ingin memanfaatkan potensi diri kepada orang lain. Proses ini dinamakan beraktualisasi. Proses beraktualisasi menjadi cikal bakal lahirnya kompetisi antar individu. Kompetisi sering diartikan sebagai persaingan atau perlombaan menjadi  individu yang terbaik. Dalam Perspektif agama dikenal istilah fastabikul khairat yang artinya maka berlomba-lomba dalam kebaikan.    

Manusia juga diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Pada awal penciptaan Adam sebagai individu, secara manusiawi sangat merasakan kesendirian dan kesepian. Maka diciptakanlah Hawa sebagai pendamping hidupnya yang kemudian beranak pinak menjadi umat manusia yang menempati dunia hingga saat ini. Manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan untuk saling melengkapi, saling bergotong royong, mendorong hadirnya rasa kebersamaan atau bisa disebut pula dengan istilah kolaborasi. Kolaborasi adalah berbagi peran dan potensi tanpa harus melupakan jati diri.

Hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial haruslah berjalan seiring. Paham yang terlalu mementingkan aspek individu manusia akan melahirkan budaya liberalisme yakni kompetisi dan persaingan bebas tanpa batas. Siapa yang kuat dialah yang menang. Sementara Paham yang terlalu mengedepankan prinsip sama rata, sama rasa, melahirkan budaya sosialisme dan Marxisme. Paham ini tentunya sangat bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.

Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah kompetisi dan kolaborasi dibutuhkan dalam kehidupan manusia?, Atau bahkan biasa muncul pertanyaan mana yang lebih baik kompetisi atau kolaborasi?. Tidak sedikit orang yang mendikotomikan istilah tersebut. Pada penjelasan sebelumnya sudah terjawab yakni sebagai individu manusia terlahir dengan potensi masing-masing, kemudian seiring berjalannya waktu mengalami proses aktualisasi bersama individu yang lain. Kompetisi adalah sebuah keharusan dan niscaya adanya. Hidup tanpa kompetisi artinya jalan di tempat, diam, tidak memiliki semangat, tidak termotivasi, dan tiada gairah hidup.  Fauzi Asis dalam artikelnya yang dimuat dalam harian Neraca, berjudul Keniscayaan Kompetisi dan Kolaborasi menyebutkan bahwa hidup tanpa kompetisi maka dunia akan sepi, dan tanpa kompetisi maka kreativitas dan inovasi menjadi mati. Demikian pula dengan kolaborasi. Manusia membutuhkan kolaborasi dalam mencapai tujuan hidupnya.

Kompetisi dalam kehidupan membutuhkan tata kelola yang baik. Kompetisi yang sehat akan melahirkan individu yang mempunyai semangat kerja, daya saing, dan akan melekat karakter pejuang dan pemenang dalam dirinya. Kompetisi yang tidak sehat akan melahirkan individu yang menang secara semu, namun pada hakikatnya mereka telah tereliminasi. Tidak sedikit fenomena dalam kehidupan khususnya dalam dunia pendidikan yang menunjukkan adanya kompetisi yang tidak sehat. Saling sikut, saling menyalahkan, merasa paling benar dan merendahkan kompetitornya, menggunakan segala cara untuk menang, bahkan memarjinalkan para pesaing-pesaingnya. Yang menang merasa paling unggul, merasa paling baik, dan yang kalah merasa dicurangi, iri dan benci terhadap pemenang. Mereka itu bukanlah pemenang melainkan pecundang. Sekali lagi pecundang. 

Kompetisi yang tidak sehat harus diminimalisir dan mengubah tata kelola kompetisi menjadi persaingan sehat yang saling memenangkan. Kompetisi yang mengubah cara pandang persaingan win-lose menjadi persaingan win-win. Mengutip dari tulisan pada laman beastudy Dompet Duafa, tata kelola kompetisi yang baik adalah Kolaborasi dalam kompetisi, dan Kompetisi untuk Kolaborasi. Kompetisi yang baik adalah kompetisi yang terorganisir dan hasil dari kompetisi untuk kepentingan bersama. 

Apabila cara pandang kolaborasi dalam berkompetisi dan kompetisi untuk kolaborasi diterapkan dalam dunia pendidikan, maka akan menghasilkan produk output pendidikan negara yang berdaya saing. Tidak dipungkiri bahwa budaya kompetisi dalam dunia pendidikan kita belum terkelola dengan baik. Hasil dari kompetisi yang dilaksanakan selama ini masih bersifat individualistik dan didorong oleh motif keserakahan dan ingin menang sendiri. Tidak sedikit prestasi yang telah diraih siswa, tidak sedikit prestasi yang diraih oleh guru, segudang prestasi telah dikantongi oleh sekolah, namun cukup dan hanya terhenti pada perolehan gelar, peringkat dan deretan trofi. Pernahkah terpikir, segala bentuk kemenangan yang diperoleh melalui sebuah kompetisi kita kolaborasikan dengan kompetitor lainnya atau bahkan kepada masyarakat dan pihak lain. Banyak prestasi yang mengendap, banyak kelebihan dan keunggulan yang kemudian terkubur dan hanya terpajang di lemari piala. Banyak prestasi yang kemudian hanya terukir indah dalam piagam penghargaan. Apakah hasil yang diperoleh itu dapat berkontribusi terhadap pendidikan di negara kita secara global? 
Budaya berbagi dan memberi dari apa yang diperoleh dalam sebuah kompetisi memang sangat minim. Banyak orang yang terobsesi dan sangat ingin berkompetisi, tapi sangat sedikit yang ingin berkompetisi untuk kolaborasi. Sebagai contoh terdekat, apakah proses pembelajaran di kelas telah menanamkan kesadaran bagi siswa yang punya keunggulan dan prestasi untuk berbagi? apakah guru yang memiliki kelebihan, keunggulan, prestasi juga memiliki kesadaran berbagi dan memberi dengan teman sejawatnya tanpa iming-iming dan imbalan? Pada skala yang lebih luas, apakah sekolah yang berprestasi juga memiliki kesadaran untuk berbagi dan memberi kepada sekolah lain, atau malah diam dan tidak ingin disaingi? Dan seterusnya hingga skala yang lebih luas lagi.        

Kompetisi yang sehat dan kemauan berkolaborasi sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Beberapa hal yang menurut penulis dapat diterapkan di sekolah tempat kita mengabdi diantaranya, pertama, bangun kompetisi antar siswa yang sehat dalam pembelajaran di kelas, di sekolah maupun di luar sekolah. Ransang mereka untuk berprestasi dibarengi penguatan dan penghargaan. Tanamkan budaya kerjasama, gotong royong, berbagi dan memberi ilmu dan kelebihan yang dimiliki kepada orang lain. Kedua, Guru memiliki kemauan untuk senantiasa mengupgrade diri agar dapat berdaya saing dan tidak ketinggalan. Terdapat empat kompetensi yang mutlak dikuasai oleh seorang guru yakni kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Dalam petunjuk teknis penilaian kinerja guru tahun 2018 yang diterbitkan oleh Kemendikbud, dari empat kompetensi guru terdapat 14 sub kompetensi dan 78 indikator penilaian kompetensi yang disyaratkan untuk dikuasai oleh guru. Hal lain yang penting bagi guru adalah memberanikan diri ikut serta dalam berbagai ajang kompetisi bukan untuk memperoleh ketenaran melainkan menambah wawasan dalam peningkatan kompetensinya. Yang tak kalah penting guru mempunyai keinginan dan upaya untuk berbagi dan memberi ilmu dan pengalaman kepada teman sejawat baik di sekolah, KKG/MGMP, organisasi profesi PGRI maupun wadah dan kesempatan lainnya. Ketiga, demikian pula dengan satuan pendidikan, selain berkompetisi secara sehat, juga berkolaborasi saling berbagi dan memberi melalui gugus sekolah, sekolah rujukan, sekolah model, maupun sekolah imbas sehingga program pemerintah dalam upaya pemerataan mutu pendidikan dapat tercapai.

Mutu pendidikan dapat dipercepat dengan kompetisi yang sehat, dan   melalui kolaborasi akan dicapai mutu pendidikan yang terbaik

Sumber Rujukan:
Beastudy. 2016. “Berkolaborasi dalam Kompetisi, Berkompetisi untuk Kolaborasi. Dompet Duafa (http://www.beastudiindonesia.net/berkolaborasi-dalam-kompetisi-berkompetisi-untuk-kolaborasi/diakses 25 Juli 2019)

Fauzi Asis. 2019. “Keniscayaan Kompetisi dan Kolaborasi”. E-paper Neraca (http://www.neraca.co.id/article/97280/keniscayaan-kompetisi-dan-kolaborasi/diakses 25 Juli 2019)

Kemendikbud. 2018. “Petunjuk Teknis Penilaian Kinerja Guru”. Jakarta
  

Jangan Dustai Kemuliaan Profesi Guru
Oleh: Sriady Faisal, S. Pd
(Sekretaris PGRI Cabang Nunukan)

Profesi guru sejatinya merupakan pekerjaan yang mulia. Guru adalah sosok pencipta insan  cendekia. Masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan, dan kualitas  pendidikan sangat ditentukan seberapa baik kualitas gurunya. Jika guru benar - benar menyadari dan memaksimalkan perannya dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik secara profesional, maka harapan yang menempatkan guru sebagai pencipta dan pembangun kekuatan negara benar-benar akan tercapai.

Harapan yang diamanahkan pada pundak guru memang berat dan membutuhkan kerja keras, ikhlas, mawas, dan cerdas dalam mengembannya. Beban kerja 60 Jam pelajaran per minggu yang telah diamanahkan pemerintah dalam Permendikbud nomor 15 tahun 2018, menjadi pro dan kontra bahkan ada kesan terasa berat dalam pelaksanaannya. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila tertanam niat yang tulus dan ikhlas, menjadikan profesi guru sebagai ladang ibadah dalam meraih ridho Tuhan Yang Maha Esa. Tentunya semakin banyak beban kerja maka semakin banyak pula kesempatan untuk beribadah dengan bersungguh-sungguh menjalankan profesinya.  

Kemuliaan profesi seorang guru dalam perspektif agama telah menempatkan guru sebagai pekerjaan mulia, yang menjanjikan amal jariyah bagi pengembannya. Amal jariyah merupakan pahala yang terus mengalir dan tak terputus. Dalam agama dikenal ada tiga amalan manusia yang tidak terputus meskipun telah meninggal dunia, yakni sedekah jariyah, anak sholeh, dan ilmu yang bermanfaat. Profesi guru memiliki peluang yang besar untuk memperoleh amal jariyah tersebut. Pertama, sedekah jariyah bukan hanya sebatas sumbangan berupa bangunan tempat ibadah, sekolah dan fasilitas umum yang terus dirasakan manfaatnya, melainkan juga ilmu yang memberikan kemashlahatan untuk kehidupan orang banyak dan manfaatnya dirasakan terus-menerus juga merupakan sedekah jariyah. Sebagai contoh, dengan ditemukannya beberapa peralatan, karya ilmiah, buku dan sejenisnya yang dipatenkan dan memberikan manfaat dan kemudahan bagi kehidupan manusia, juga merupakan amal jariyah. Kedua, terbuka lebar kesempatan bagi guru untuk mencetak anak sholeh dan generasi terbaik di masa yang akan datang. Guru adalah orang tua kedua yang senantiasa menginginkan agar siswanya menjadi generasi yang berkarakter baik spiritual maupun sosial. Karakter yang kuat pada peserta didik menjadi indikator dalam menciptakan generasi yang sholeh dan sholehah. Ketiga, ilmu yang bermanfaat dan diamalkan. Amal jariyah yang ketiga ini memang identik dengan tugas pokok seorang guru. Guru adalah pelita dalam kegelapan, yang mengajarkan siswa dari yang tidak tahu menjadi tahu, guru adalah penyejuk dalam kehausan yang senantiasa menanamkan akhak dan budi pekerti serta membangun karakter jiwa-jiwa yang gersang. Guru adalah pembimbing melangkah ke muka, yang menanamkan life skill serta keterampilan sehingga peserta didik dapat mandiri dalam menyongsong masa depan. 

Selanjutnya, kemuliaan seorang guru dalam perspektif kehidupan sosial kemasyarakatan telah menempatkan guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Betapa mulianya kedudukan guru sehingga pikiran, tindak tutur, dan tindak laku seorang guru menjadi teladan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa guru merupakan sosok yang dijadikan contoh dan panutan, sehingga mereka mempercayakan anak-anak mereka diajar, dididik, dilatih dan dibimbing oleh guru di sekolah. Orang tua sangat percaya bahwa guru akan menjadi lentera bagi kehidupan anak-anaknya. Ridwan Afandi dalam bukunya Ilmu sebagai Lentera Kehidupan (2006:61) menyebutkan bahwa guru sebagai seorang pendidik bukan hanya berfungsi sebagai sumber ilmu dalam pembelajaran, melainkan juga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak didik.

Dari uraian tersebut, dapat digambarkan betapa mulianya kedudukan dan profesi seorang guru. Dalam kehidupan bernegara, guru merupakan pembangun kekuatan negara. Dalam perspektif agama, guru merupakan ladang ibadah yang akan menuai amal jariyah meskipun telah meninggal dunia. Dalam Perspektif kehidupan sosial kemasyarakatan, guru merupakan sosok teladan yang digugu dan ditiru pola pikir, tindak tutur, dan tindak lakunya. Namunpun demikian, banyak harapan yang belum sejalan dengan kenyataan. Guru adalah profesi mulia, namun sosok guru bukanlah malaikat yang sempurna, dan dengan serta merta mampu memberikan yang terbaik kepada orang tua, masyarakat, negara dan agama. Tidak sedikit kasus yang menunjukkan adanya tindakan mendustai kemuliaan profesi guru.

Tindakan mendustai kemuliaan profesi guru ada yang bersumber dari diri pribadi guru itu sendiri, maupun dari pihak lain yang dengan sengaja mendiskreditkan kewibawaan seorang guru. Tidak sedikit guru yang pada kenyataannya menunjukkan perilaku yang mendustai kemuliaan profesinya. Sebagai contoh, di sekolah-sekolah banyak terpampang slogan 10 Budaya Malu bagi Guru diantaranya, malu terlambat, malu pulang cepat, malu tidak masuk kerja, malu sering izin, malu tidak taat aturan, malu tidak punya program tiba masa tiba akal, malu tidak berpakaian rapi, malu pekerjaan terbengkalai, malu banyak menuntut hak tidak sadar kewajiban, dan malu tidak berprestasi. Namun bagi sebagian guru slogan tersebut hanyalah sekedar tulisan dan sama sekali tidak menyadari atau bahkan tidak punya malu dengan berbagai dalih atas pelanggarannya. Belum lagi kasus-kasus asusila yang sering dimuat di berita media massa yang benar-benar telah mencoreng kemuliaan profesi guru. Banyaknya kasus-kasus oknum guru, menjadi pemicu munculnya tekanan-tekanan dari pihak lain yang mungkin iri, dan bahkan punya niat melemahkan posisi guru. Dengan mudah mereka membuat generalisasi dan kesimpulan – kesimpulan negatif yang merendahkan martabat guru. Mulai dari sebutan guru pemalas, guru serakah yang taunya hanya menuntut gaji dan tunjangan yang tinggi, guru tidak berkualitas, guru pemarah dan pelanggar hak asasi perlindungan anak dan banyak lagi sebutan negatif lainnya yang muncul. Kasus demi kasus, oknum demi oknum telah menjadi rekaman buruk bahkan menanamkan rasa iri dan benci terhadap guru. Sebagai dampak terburuk dari kesan-kesan negatif tersebut, menyebabkan mudahnya sebagian orang melapor dan memenjarakan guru hanya karena tindakan pendisiplinan siswa cengeng. Semua itu merupakan kausalitas dari fenomena-fenomena negatif yang membuat munculnya generalisasi meskipun hal tersebut sebuah kekeliruan.

Kesan-kesan negatif baik yang bersumber dari pribadi guru maupun pihak lain yang telah mendustai kemuliaan profesi tersebut harus diminimalisir. Penulis menyimpulkan, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru untuk menempatkan profesi guru pada posisi yang mulia antara lain, pertama agar pekerjaan guru tetap mulia dalam perspektif agama, maka seorang guru harus senantiasa memperbaharui niat sebelum memulai aktivitas dan rutinitas di sekolah agar tetap bernilai ibadah di sisiNya. Pada tulisan ini penulis menegaskan bahwa pekerjaan dinilai ibadah bukan berarti kerja tak berbayar. Gaji dan tunjangan yang menurut sebahagian orang sudah tinggi, tidak lain merupakan rezeki, nikmat, hadiah atas profesionalitasnya yang wajib disyukuri oleh guru. Hindari rasa suka mengeluh yang menyebabkan hilangnya rasa syukur dan ingkar atas rezki dan nikmat yang Allah berikan dari gaji dan tunjangan yang kita dapatkan. Jika seorang guru ikhlas berikhtiar melaksanakan tugas mengharap ridho Ilahi, maka tidak akan menghapus amal jariyah yang telah Allah janjikan meskipun pekerjaannya mendapat gaji dan tunjangan. Kedua, dalam perspektif kehidupan bernegara, guru dapat menjadi kekuatan yang membangun kekuatan negara dengan jalan menghidupkan organisasi profesi PGRI. Organisasi profesi adalah sebuah keharusan. Organisasi profesi yang kuat akan menciptakan guru yang profesional, sejahtera dan terlindungi. Melalui organisasi profesi, maka guru memiliki kekuatan besar dalam membangun budaya bangsa. Budaya bangsa yang maju, pada gilirannya akan membangun kekuatan negara.   Ketiga, dalam perspektif kehidupan sosial kemasyarakatan, kemuliaan profesi akan  terbangun jika guru sadar akan fitrahnya sebagai pribadi yang digugu dan ditiru. Pola pikir, tutur kata, dan tingkah lakunya menjadi barometer suksesnya pendidikan. Guru teladan akan menciptakan rantai pembelajaran yang mencerahkan dan jika diamalkan akan bermanfaat dalam kehidupan. Sebaliknya jika guru memperlihatkan perilaku yang tidak patut, maka akan menciptakan rantai kebodohan dan menyesatkan yang pada gilirannya akan mendatangkan mudhorat.   

Sebagai closing statement dari tulisan ini, penulis mengajak diri sendiri dan teman-teman guru satu profesi, mari menjaga dan menempatkan profesi guru pada tempat yang mulia, dan jangan mendustai kemuliaannya. 

HANYA PGRI, PGRI UNTUK SEMUA
Oleh: Sriady Faisal, S. Pd
LO PGRI Kabupaten Nunukan
Nunukan, 29 Mei 2019


Sebagai guru yang secara resmi terdaftar menjadi anggota Persatuan Guru Republik Indonesia sangat berpengharapan agar PGRI menjadi organisasi yang kuat, dicintai anggotanya, serta disegani oleh pihak lain. Harapan ini saya kira bukan hanya bersumber dari pribadi penulis, melainkan merupakan dambaan semua guru yang berkecimpun dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia.

Harapan tersebut bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai, jika semua anggota PGRI merasa bahwa PGRI adalah wadah milik bersama, hanya PGRI, dan PGRI untuk semua anggota. Apakah semua guru telah tertaut rasa tersebut? Sebuah pertanyaan dan sekaligus renungan buat kita semua.

Saudaraku para guru, teman-teman satu profesi, dalam UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 yang merupakan produk hukum dan murni terlahir dari perjuangan PGRI, pada pasal 41 ayat 3, menegaskan “guru wajib menjadi anggota organisasi profesi”. Kemudian terkait tentang Organisasi Profesi, Prof. Dr. Azrul Azwar, M. PH menjelaskan bahwa salah satu ciri organisasi profesi adalah “umumnya untuk satu profesi hanya ada satu organisasi profesi yang para anggotanya berasal dari satu profesi”. Organisasi profesi guru haruslah terbentuk oleh guru, independen, dan berkode etik, berkeahlian dan dibayar sesuai keahliannya. Lahirnya UU Guru dan Dosen yang mengakui guru sebagai sebuah profesi telah berkausalitas dengan dibayarkannya TPG. Lagi-lagi PGRI, lagi dan lagi PGRI. Dengan dasar tersebut, apakah cukup untuk menjadikan PGRI sebagai satu-satunya organisasi profesi yang dicintai, dan semua anggota berkesadaran untuk memperjuangkannya, ataukah malah berpaling setelah euforia kenikmatan dan kesejahteraan telah kita miliki. Nurani saya akan mengatakan tidak, organisasi profesi saya hanya PGRI, PGRI untuk semua. 

Memang kiprah PGRI saat ini, telah banyak berkontribusi terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Buah perjuangan yang dilandasi semangat dan tekad persatuan dan kesatuan dalam memperjuangkan hak-hak guru termasuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang memihak telah dirasakan langsung oleh semua pihak terutama guru. Namun tidak sedikit yang mengkritisi, memprotes, seolah-olah PGRI tidak berbuat apa-apa. Namun PGRI harus tetap berdiri kokoh, karena tantangan eksternal maupun internal senantiasa menghadang. Semakin tinggi sebuah pohon maka semakin kencang angin menerpa. Mengutip pernyataan Ketua PGRI, “Buah perjuangan diterimakasihi atau tidak diterimakasihi, PGRI akan selalu tetap bersinar”.

Tidak dipungkiri bahwa perjuangan PGRI sebagai organisasi profesi dan organisasi perjuangan butuh waktu dan proses yang tidak singkat. Harus diakui belum semua aspirasi guru tersalurkan dengan baik. Masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi.

Namunpun demikian, PGRI selalu berupaya memberikan yang terbaik untuk para anggotanya. Pengabdian PGRI ikhlas tak berbayar, berpikir dan berbuat demi kamaslahatan guru. 

Saudaraku, teman-teman guru satu profesi, mari kita dukung PGRI untuk terus berbenah. Di era milenia saat ini, rumah besar PGRI harus senantiasa diperbaharui agar selalu tampak baru, kokoh, memberikan rasa nyaman, aman. PGRI bukanlah rumah tua yang akhirnya ditinggalkan penghuninya. Oleh karenanya, kepengurusan PGRI perlu terus mengalami penyempurnaan melalui program-program yang bersentuhan dengan kebutuhan anggotanya. Program yang mewadahi kebutuhan anggota, tentu akan berimbas terhadap rasa betah, rasa cinta, rasa memiliki, rasa senasib, rasa seperjuangan di bawah naungan rumah besar PGRI.

Sebagai organisasi profesi yang beranggotakan pendidik dan tenaga kependidikan, PGRI harus tetap eksis menjalankan perannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan secara berimbang demi terpenuhinya kebutuhan seluruh anggota.

Sebagaimana telah tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PGRI, pasal 3, bahwa jati diri PGRI adalah sbb:

1. PGRI sebagai organisasi profesi
artinya PGRI mempunyai fungsi sebagai wadah kebersamaan, rasa kesejawatan atau seprofesi dalam mewujudkan peningkatan keahliannya atau kariernya dalam menjalankan tugas-tugas keprofesiannya secara professional. Artinya meningkatkan prilaku profesi kepada suatu standar keahlian yang diinginkan oleh masyarakat umum. Berarti sudah semestinya memiliki peningkatan keahlian yang mempunyai standar mutu.

2. PGRI sebagai organisasi perjuangan
PGRI sebagai organisasi pejuangan artinya PGRI merupakan wadah bagi para guru dalam memperoleh, mempertahankan, meningkatkan dan membela hak-hak azasinya baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara, maupun pemangku profesi keguruan. PGRI berjuang untuk mewujudkan hak-hak azasi kaum guru dalam wadah NKRI.

3. PGRI sebagai organisasi ketenagakerjaan
PGRI sebagai organisasi ketenagakerjaan adalah organisasi yang menyadari bahwa anggotanya mempunyai hak untuk bekerja, untuk memilih tempat kerja secara bebas untuk memperoleh lingkungan kerja yang pantas dan aman dan untuk dilindungi dan hak untuk mendapatkan upah dan pekerjaan secara adil tanpa diskriminasi serta hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja (traid union) untuk melindungi kebutuhan-kebutuhannya. PGRI merupakan wadah pejuangan hak-hak guru sebagai pekerja terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan.

Dari ketiga peran PGRI tersebut, yang masih dirasakan minim adalah dalam hal pengembangan kompetensi. Guru sebagai profesi, membutuhkan wadah peningkatan potensi, baik akademik maupun nonakademik. Belum terpenuhinya peran pengembangan kompetensi secara maksimal menyebabkan kualitas guru anggota PGRI sering dipertanyakan profesionalitasnya, dan bahkan tidak sedikit anggota PGRI yang melirik program-program pengembangan kompetensi dari organisasi lain yang mengklaim dirinya sebagai organisasi profesi guru. Kebutuhan pengembangan kompetensi bagi guru adalah suatu hal yang niscaya untuk dipenuhi. Di samping karena menuntut ilmu dan mengupgrade diri adalah kewajiban, juga merupakan tuntutan karir dan kepangkatan. Fakta mengatakan bahwa, karena anggota PGRI merasa kurang terwadahi kebutuhan memperoleh sertifikat yang menunjang kepangkatan sehingga banyak guru yang tergiur dengan program organisasi profesi lain, meskipun nuraninya tidak tega jika harus memiliki keanggotaan ganda. Memang sangat disayangkan.  Namun, apakah 100% mereka salah dan dianggap berpaling? Menurut penulis keadaanlah yang memaksa mereka. Mari kembali merangkul dengan penuh rasa kekeluargaan, nurani mereka merindu lantunan dan kumandang Yel-Yel PGRI. Pikirkanlah bagaimana mereka keluar dari rasa dilema.

Penulis yakin, PGRI mampu memberikan solusi pengembangan kompetensi anggota melalui diklat-diklat, seminar, bimtek, workshop baik tatap muka maupun daring dengan melibatkan berbagai pihak. Meskipun sudah diprogramkan pemerintah, namun sangatlah terbatas anggota yang bisa mengikutinya, sementara tuntutan karir juga wajib dipenuhi.  Penulis yakin jika jati diri PGRI sebagai organisasi profesi, organisasi perjuangan, dan organisasi ketenagakerjaan mampu mewadahi, maka impian dan harapan menjadikan PGRI sebagai satu-satunya organisasi profesi, HANYA PGRI, PGRI UNTUK SEMUA, kelak menjadi sebuah capaian yang indah.

HIDUP GURU!
HIDUP PGRI!
SOLIDARITAS YES!
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarokatu. Selamat Datang di Blog SRIADY FAISAL, Ingat beri komentar, Terima kasih