Puji
dan syukur senantiasa Allah Tuhan yang Maha Agung, sumber nalar kebenaran yang
sejati yang telah menganugrahkan kepada manusia akal untuk berpikir, bersikap
dan berbudaya sehingga tercerminlah sebuah esensi yang membedakannya dengan
makhluk yang lain.
Shalawat
dan salam kepada sang revolusioner sejati, NabiuLlah Muhammad SAW yang telah
merobek-robek bendera jahiliah dan mengibarkan bendera tauhid sehingga tercipta
sebuah tatanan kehidupan yang islami dan Rahmatanlilalamin.
Nilai
Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan ideologis sekaligus
sebagai spirit perjuangan dari organisasi setiap kader HMI yang harus dipahami
yang bukan hanya pada tataran formal tapi juga secara substansial sehingga tidak
ada kontradiksi kebenaran antara konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian
yang diterjemahkan pada wilayah starategis dan kebijakan yang operasional.
Setiap
generasi bertanggung jawab pada sejarah yang yang menyertainya, dan
progressifitas perubahan menjadi keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya
dengan sebuah organisasi ataupun suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan,
dan organisasi yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada
zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi organisasi yang
terbelakang, sehingga wacana perubahan adalah identik dengan parsialitas
perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong
keterbukaan dan progresifitas, karena wacana yang anti kepada perubahan adalah
kejumudan, ketertutupan terhadap realitas yang mengalami perubahan dan
cenderung bersifat status quo dalam memapankan kekuasaan. Maka dengan itu kami
mencoba mengkaji materi-materi dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP).
Adapun
pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar perjuangan adalah pertama: Hakikat
penciptaan dan eskatologi, materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan
manusia dan pembuktian secara rasional akan adanya hari kebangkitan dengan
argumentasi yang logis dengan prinsip-prinsip yang rasional, kedua: manusia dan
nilai kemanusiaan, materi ini mengurai tentang manusia sebagai khalifah dalam
alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip tentunya dalam kaca mata
Qur,an melihat manusia, apa ukuran manusia itu dikatakan sempurna apakah dalam
dimensi fisiologis atau dalam dimensi sprtitual, Al-qur’an melihat bahwa ukuran
kesempuraan terletak dalam dimensi spritualitas bukan fisiologis seperti yang
banyak diungkapkan oleh pemikir-pemikir barat yang berbasis materialistik.
Selanjutnya penjabaran meteri dari kemerdekaan manusia dan keniscyaan
universal, individu dan masyarakat, keadilan ekonomi dan keadilan sosial dan
sains islam mengalami perubahan pada materi yang secara substansial adalah
turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan meteri dari hakikat penciptaan
dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, yang tentunya dengan
uraian materi yang saling terkait antara sub-sub bab masing-masing dalam
kerangka yang sistematis.
PROLOG
Sejak awal HMI telah mencantumkan
“Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam” sebagai salah satu tujuannya,
di samping “Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia”. Dengan
demikian, Islam telah dijadikan sebagai landasan organisasi. Dalam hal ini HMI
tidak mendasarkan diri pada “mazhab” tertentu, walau kemudian dalam pola
pemikirannya HMI cenderung sebagai kelompok intelektual muslim pembaharu.
Dari situ HMI menuangkan pemahaman
keislamannya yang tertampung dalam sebuah buku pedoman yang diberi nama Nilai
Dasar Perjuangan (NDP). NDP merupakan gambaran bagaimana seorang HMI memahami
Islam sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Secara doktrin, yang terkandung
dalam NDP bukanlah ajaran yang bertentangan dengan Islam, melainkan merupakan
formulasi kembali atas al-Quran sehingga tertuang menjadi suatu kepribadian
bagi kader HMI dalam mewujudkan amanat Tuhan sebagai khalifah fil-ardhi.
NDP adalah
landasan ideologis perjuangan HMI, sebagai ruh yang mendorong moral pergerakan
kader. Pemahaman terhadap NDP diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan diri
kader akan keyakinan ilahiahnya, membangun semangat humanisme dalam interaksi
dengan sesama manusia, dan sebagai sumber nilai moral yang mengiringi ilmu
pengetahuan untuk diabdikan bagi kemanusiaan. Dengan demikian nilai-nilai NDP
bisa menjadi identitas yang khas bagi kader-kader HMI.
Sejarah
Perumusan
Rumusan NDP
seperti yang kita lihat sekarang bukanlah hasil yang sekali jadi, melainkan
hasil perkembangan pemikiran dan penghayatan mendalam atas sejarah perjuangan
HMI secara keseluruhan. Bahkan kalau kita hitung jarak antara berdirinya HMI
dengan perumusan NDP, tercatat waktu lebih 20 tahun.
Secara
sosiologis, NDP dirumuskan dalam kancah pertarungan ideologi-ideologi besar yag
ada pada saat itu. Nasionalisme Bung Karno, Komunisme PKI, dan Sosialisme PSI
adalah ideologi-ideologi yang secara umum berebut pengaruh. Di samping itu yang
juga mendorong perumusan NDP adalah perlawatan Nurcholish Madjid ke Amerika
(Oktober 1968) atas beasiswa sebagai pemimpin mahasiswa dari Council for
Leaders and Specialist, Washington. Namun menurutnya yang banyak memberikan terhadap
sikap dan gagasannya bukan itu, melainkan kunjungannya ke beberapa negara di
Timur Tengah (Turki, Libanon, Syiria, Irak, Kuwait, Saudi, Sudan dan Mesir)
selama empat bulan setelah lawatannya ke Amerika.
Faktor-faktor
berikut dikemukakan Cak Nur sebagai hal yang menginspirasikan perumusan NDP: pertama,
tidak adanya bacaan yang komprehensif dan sistematis tentang ideologi Islam. Kedua,
kecemburuan terhadap anak-anak muda komunis yang oleh partainya disediakan buku
pedoman kecil berjudul Pustaka Kecil Marxis (PKM). Ketiga, ketertarikan terhadap buku kecil
yang ditulis oleh Willy Eihleir, Fundamental Values and Basic Demand of
Democratic Socialis. Tulisan ini merupakan upaya reformasi ideologis bagi
partai sosialis demokrat Jerman di Jerman Barat.
Karena itu jelas bahwa dari latar
belakang perumusannya Nurcholish Madjid ingin menempatkan NDP sebagai ideologi
bagi HMI, yang diharapkan dapat menandingi ideologi-ideologi lain yang
berkembang pada saat itu.
Iman, Ilmu dan Amal Sebagai Intisari
NDP
Iman, adalah bentuk kepercayaan yang
paling mendasar dalam diri manusia. Hidup yang benar dimulai dengan iman yang
benar. Iman yang benar adalah percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
disertai takwa, yaitu keinginan mendekat serta kecintaan kepadaNya. Manusia
berhubungan dengan Tuhan dalam bentuk penghambaan atau penyerahan diri (islam),
berupa ibadah (pengabdian formil/ritual). Ibadah mendidik individu agar tetap
ingat kepada Tuhan dan berpegang teguh pada kebenaran sebagaimana dikehendaki
oleh hati nurani yang hanif. Dengan ibadat, manusia dididik untuk memiliki
kemerdekaannya, kemanusiaannya, dan dirinya sendiri; sebab ia telah berbuat
ikhlas, yaitu memurnikan pengabdian hanya kepada kebenaran (Tuhan) semata-mata.
Inilah yang disebut tauhid. Lawannya adalah syirik, yaitu memperhambakan diri
kepada sesuatu selain Tuhan. Syirik merupakan kejahatan terbesar bagi
kemanusiaan karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi.
Tuhan adalah
mutlak. Kebenaran Tuhan dengan demikian bersifat mutlak. Yang selain Tuhan (baca:
manusia) adalah relatif. Namun sudah merupakan tugas sejarah bagi yang relatif
ini untuk terus-menerus berupaya mencapai Yang Mutlak, karena dari sanalah
manusia berasal dan kepada-Nyalah manusia kembali. Kembali kepadaNya berarti
menuju kepada Kebenaran. Namun Kebenaran yang sifatnya mutlak tidak mungkin
dicapai oleh manusia. Manusia hanya dapat mencapai kebenaran-(kebenaran) yang
relatif. Untuk itu manusia memerlukan ilmu, yang merupakan alat manusia
untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran itu. Sekalipun relatif,
kebenaran-kebenaran itu merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui manusia
dalam perjalanan menuju Kebenaran Mutlak.
Ilmu adalah
pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang alam dan dirinya
sendiri. Hubungan manusia dengan alam bersifat penguasaan dan pengarahan. Alam
tersedia bagi manusia untuk kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Penguasaan dan
pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang
hukum-hukumNya yang tetap (sunnatullah). Pengetahuan itu dapat dicapai
dengan mendayagunakan intelektualitas rasionalitas secara maksimal.
Manusia adalah
makluk sosial, hidup di antara dan bersama manusia-manusia lain dalam hubungan
tertentu. Oleh karena itu manusia tidak mungkin dapat memenuhi kemanusiaannya
dengan baik tanpa berada di tengah sesamanya. Iman dan ilmu saja tidaklah
berarti apa-apa jika tidak diterapkan dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan.
Inilah yang disebut amal. Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil
bentuknya yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara esensial
menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, yaitu menegakkan keadilan
dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabat
sebagai manusia. Usaha ini disebut amar ma’ruf. Lawannya disebut nahi munkar,
yaitu mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam bentuk yang lebih konkrit, usaha ini diwujudkan misalnya melalui
pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, serta usaha ke arah peningkatan
nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
Dengan
integrasi iman, ilmu, dan amal itulah manusia akan mampu memenuhi kodratnya,
yaitu sebagai hamba di hadapan Tuhan dan sebagai khalifah di hadapan alam.
Cita-cita ideal HMI kiranya tertuang dalam NDP tersebut. menjadi manusia
kreatif yang mampu berinovasi dalam kerja-kerja nyata demi mempertinggi harkat
kemanusiaan (amal saleh); disertai ilmu sebagai alat untuk melakukan itu; dan
tentu saja dilandasi oleh iman yang benar.
Status NDP
Selama ini HMI
dikenal dengan tradisi pembaharuannya. Dalam pembaharuan akan selalu ada kritik
dan otokritik terhadap segala sesuatu yang ada. Hal ini memungkinkan adanya
perbaikan dan pengembangan ke arah yang lebih baik.
Meskipun NDP
berpretensi ideologis, NDP tidak boleh diperlakukan sebagai dogma yang taken
for granted oleh kader-kader HMI. NDP bagi HMI tidaklah sama dengan
al-Quran bagi umat Islam. Bagaimana pun NDP adalah buatan manusia. Karena itu
meskipun perumusannya didasarkan pada wahyu yang bersifat mutlak, NDP tak lebih
dari sekadar hasil interpretasi manusia yang nilai kebenarannya relatif. NDP
bolehlah dikatakan sebagai satu usaha berupa landasan filosofis untuk mencapai
Yang Mutlak, Kebenaran, yaitu Tuhan itu sendiri. Keberadaan NDP harus disikapi
secara kritis. Cak Nur sendiri, selaku salah seorang perumus NDP, ketika
ditanya apakah NDP masih relevan dengan kondisi sekarang ataukah perlu diganti,
mengatakan bisa saja, asal tingkat intelektualitasnya tidak lebih rendah dari
yang ada sekarang.
BAB
I : LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR
Dalam
benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat
tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka,
kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita
tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih,
gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut
pengetahuan tasawwur
(konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun
pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa
demikian? Hal ini karena mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai
sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi
pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan
gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia
dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk
merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia
harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik
tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas,
pertanyaannya adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh
gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok
ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga
mazhab itu adalah pertama, mazhab
‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan
doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin
tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia
dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun
mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai
landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka
berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci
sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka
berfikirnya.
Mazhab
kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua
mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis
terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi
mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi
dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang
dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya
adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan
atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun
teologis.
Bagi
mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen
merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui
aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau
pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah
khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi
bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam
upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif)
seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain
jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis
(metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen
tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua
data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab
suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif. Pada akhirnya
tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan prima
principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan
satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa
pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun
tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin
dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang
mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama
dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya.
Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa
demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu
(konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan
kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut
bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk
pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah,
filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.
BAB
II: DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia
adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah
memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi
rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan
utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal
ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai
pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah
aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal
prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar,
yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan
hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk
berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara
yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya
seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi
kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam
tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah
kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk
menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari
Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada
berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan
kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka
menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang
mengadakannya. Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar
dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya,
dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain
keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu
adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki
keberadaan. Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan
sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan
pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang
Maha Sempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan
kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu
itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan
tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang
sanggup menolak eksistensi-Nya. Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa
Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di
dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang
berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa
kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu
agama yang benar.
Agama-agama
yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki
kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu
identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada
masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah
mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu
yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu
agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada
konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara
argumentatif.
Diantara
berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal
yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya
di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan
(pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang
diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri,
tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang
mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian,
tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad). Dengan demikian
diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun
mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau
zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala
sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia
Mahabesar“.
Sesungguhnya
Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan
hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat
zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya
sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya
(wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian
kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak. Keinginan untuk merefleksikan ungkapan
terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran
bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar
dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk
berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang
suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki
ketinggian spritual. Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk
membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan
bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul),
yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia.
Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran
kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan. Bukti kebenaran rasul
untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar
biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat
bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa
dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah
keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang
tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan
kepadanya hal-hal yang luar biasa. Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul
melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya.
Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut
Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci
terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar
dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh
pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi
fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan
konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul
Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat
persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar
kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari
al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah).
Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam)
pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan
berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain
dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun
di alam ini. Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan
dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih
kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan
keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat
temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya
dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/
kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan.
Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah
atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha
dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala. Kehidupan akhirat
merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia.
Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi
manusia terhadap Tuhan dan alam.
BAB
III: HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI (MA’AD)
Salah
satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan
Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan
sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki
untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai
bukan muslim. Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka
masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah
yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah
tujuannya?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar
pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang
dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa
keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari
seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan
Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak
ciptaan. Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk
selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi).
Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah
dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun
alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi)
untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila
kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang
mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada
Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema
yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati
dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam
barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan
datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya,
kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan
datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan
tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang
kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung
pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan
akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari
bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak
manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai
awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri. Tetapi manusia hendaknya
tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau
periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung
jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan
manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua
tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar
atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam
beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi
kebahagiaan manusia.
BAB
IV: MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Satu
hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia
adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia
itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia
itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk
unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan
aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi
tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia
selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi
sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain
dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling
kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual
dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek
basyarnya.
Dari
aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia
dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar
(fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur
apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti
pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk
mulia atau hina.
Dalam
beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan
tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini
didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata
surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa
demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan
ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur
kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian
ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli
astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata
surya tetapi matahari. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia
bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya
dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap
tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan
oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak
lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia,
dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan
kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau
Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang
dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya.
Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu
tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus
Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing?
Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan
manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian
mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu?
Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka
bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak
ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih
mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah)
dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung
(tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam
konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi
Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang
dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri
kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai
contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di
muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi
(contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah
sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari
seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang
sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam
konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan
lebih rendah dari binatang. Dengan demikian keidentikan kepadanya
(khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan manusia dan
sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap
¯sebagai syaitan (QS.6:112).
BAB
V: KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA) DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR
ILAHI)
Sebagai
mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan (QS. 2:30) manusia berbeda dengan
batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah
ketinggian bergerak berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun
begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi tertetu atau
sebagai mana binatang yang bertindak berdasarkan naluri alamiahnya. Ketiga
mahluk-mahluk ini bergerak atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari. Namum
bagi manusia, ia merupakan mahluk yang senantiasa diperhadapkan pada berbagai
pilihan-pilihan, dan hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang
berasal dari tuhan ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara
pilihan-pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal-hal ideal ataupun keharusan -
keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitupula ketiadaan
kehendak atau keinginan maka iapun mungkin memilih, orang gila (tidak berilmu)
dan pingsan (takberkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara,
ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya
kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila
berhadapan diantara keharusan-keharusan universal (takdir). Keharusan -
keharusan universal atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini ataupun
takdir tasri’i baik yang bersifat defenitif (Dzati) maupun yang tidak bersifat
defenitif (Sifati) bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah
robot yang bergerak berdasarkan skenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi
hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip akan terbinanya
sistem kausalitas umum (bahwa akibat mesti berasal dari sebab-sebab khususnya,
dimana rentetan kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni
tuhan) atas dasar pengetahuan dan kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir
Takwini (Ketetapan penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestiaan yang
mengatasi sistem penciptaan alam dan takdir tasyrii (Ketetapan Syariaat)
merupakan prinsip kemestiaan yang mengatur sistem gerak individu maupun
masyarakat dari segi sosiologis dan spritual.
Memahami
konsep takdir sebagai sebuah skenario yang telah ditetapkan oleh tuhan
meniscayakan ketiadaaan keadilan tuhan dan konsep pertanggungjawaban.
Sebaliknya bila takdir tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan
diatas (yakni takdir takwini sebagai sebuah sistem yang mengatur proses
penciptaan dan takdir tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur kehidupan etik,
sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada
proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan
sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau
pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu
sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain
memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku,
surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar. Artinya
ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum-hukum yang
pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan
ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena
itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya
ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak
bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak
dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun.
Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi
itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu
takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat
dikatakan bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri
meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak
bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan
ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan
ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan
tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali
pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas
atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai
tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir
maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak
lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan
kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya
merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan
Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan.
Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya
dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan
itu tersebut adalah sistem etik yang hanya menguntungkan orang - orang kuat dan
mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu
sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten
orang-orang lemah tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat.
Sistem ini hanya berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki
kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena
kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya
kebebasan individu tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara
sosial dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi
tertindas dan secera spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan
bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja
tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan
(menahan diri) untuk membalas menindas ketika ia berada pada posisi memiliki
kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan
keharusan universal.
BAB
VI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Salah
satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan
binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai
makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari
jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada
porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan
dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari
manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa
perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap
individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip
kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah
masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti
dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya
makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya
perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling
membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan
memiliki makna.
Di
sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan
kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah
keluarga. Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu
yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar.
Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu
berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses
kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama,
sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai langka
terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat
didefenisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu
secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama
adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah
individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam
mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya.
Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan
psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu unsur
terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun
tidak ada. Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa
alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta
hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan
masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki
kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi
individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat.
Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan
kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri. Walaupun
manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak
teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia
berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab
hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan
individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan
keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar,
sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam
kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban
ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif.
Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan
memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan
oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi
ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan
tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut
menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang memberikan
landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini berarti,
individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan
perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak
ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan
adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan
kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah
pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada
kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya
untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan
kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan.
Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara
individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam akan berubah
dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba
Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran
masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga,
mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu
berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan
ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka
bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk
mewujudkan sistem sosial.
BAB
VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Keadilan
menjadi sebuah konsep abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap
orang utamnya mereka - mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan
redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila
keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang
proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya
dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab - sebab terjadinya
ketidak adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi
kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari terjadinya
diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas
terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekonomi
bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah
keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun
ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan
praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis.
Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau
kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi,
kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya. Kapitalisme sesuai dengan
konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir
manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung
meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya
distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan
individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di
sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan
individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa
terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan
ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya
dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat
menyebabkan perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa
orang menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya
sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan
hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi
sehingga terciptanya kelas - kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin
miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat
proses berubahnya kesadaran kolektif dari kesadaran kesadaran kepemilikan
pribadi ke kepemilikan sosial (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan
sosial dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem
sosial yang berfungsi mengatur atau merawat dalam hal menghilangkan kepemilikan
pribadi atas alat - alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan
bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang
sama) yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan
alat-alat produksi tersebut.
Adapun
menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka
kemanusiaan sebagaimana yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya
kepemilikan pribadi yang semata-mata materealistik justru penyebab proses
kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu
jika ia tak seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan
individu atau apa yang sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnya mengapa
ketika seluruh alat - alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian
diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari individu -
individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau
borjuis - borjuis baru yang diktator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa)
bagi unit-unit yang mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan
pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan
egoistik. Bagi Islam satu - satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidak
adilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan
mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan
pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran teologis
dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri alamiahnya.
Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran teologis dan
ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia seseorang dan disisi lain
dengan menghilangkan kepemilikan atau kepemilikan pribadinya kemudian serta
merta ia berubah dari individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis (bukan
sosialisme). Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan
yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini
dapat mendorong manusia untuk melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan
merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas
spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak datang untuk
membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang untuk memupuk,
membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan suatu kesadaran teologis
(TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).
Bagi
Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi atau dengan kata
lain penyebab terjadinya kelas-kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak
adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an menceritakan
mental Fir’aun yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab
terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan menobatkan
dirinya menjadi Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai
ini Islam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana
dikatakan dalam Al- Quran yang artinya: ….tidak kita sembah Allah dan tidak
kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Alla (QS.3:64). Adapun di
sisi lain penyebab terjadinya ketidak adilan ekonomi (yang miskin semakin
miskin dan sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan
syariat) karena itu kata al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari
tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka
dan dari bawah kaki mereka (QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus
diatas jalan itu (Agama Islam; melarang praktek riba, serta menganjurkan atau
bahkan mewajibkan khumus, Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll), niscaya
benar-benar kami akan memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki
yang banyak, QS.72:16). Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan
khusus antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi
dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi
yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi
kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan.
Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan
meningkatkan kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah
tercurahkan.
Dengan
persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan melahirkan kesadaran
kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari pengabdian serta
kecintaan kita kepada Allah SWT. Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan
sosial dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup.
Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat.
Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya
dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan
martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab
sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung
didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa
keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya
pra-syarat inilah negara ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak
diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan holistik dapat mengantar kita
pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat) Islam yang telah mengajarkan
akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum
muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi dan
pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut
hal-hal yang memerlukan rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian,
penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan
20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang
dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol masyarakat
dan negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif keadilan.
BAB
VIII: SAINS ISLAM
Sains
dalam sejarah perkembangan seringkali dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya
pencocokan terhadap nilai-nilai budaya, agama atau pandangan - pandangan
tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian
menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan
positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya. Naturalisasi terhadap sains itu
sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi
ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi
masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat
merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah
peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga
memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya,
agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme
misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat Eropa dan
telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains
yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang
menolak hal - hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya
dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan
konsep-konsep teologi dan nilai - nilai keagamaan lainnya. Sehingga bukanlah
hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains
terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk
keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari
naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap
gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya
dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains
islam. Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan menggagas untuk
meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi
ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai
dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi
(Ma’ad), serta Kenabiaan.
Islamisasi
sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai
dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an
bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain
bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains
ini juga bersifat materealistik atau positivistik. Pendekatan demikian akan
mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori sebelumnya dengan
ditemukannya teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang
relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula
islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang
kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya
tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah
atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam. Namun pendekatan yang
mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan
menetapkan status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah
epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis meniscayakan
perbedaan pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat
terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan
oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu
sendiri. Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan
menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan
perhatiannya pada objek fisik. Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada
status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia
tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek
ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal
(objek-objek metafisika). Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains
Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status
ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk
mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara
langsung, deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak
langsung maupun objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen)
untuk mengetahui objek-objek fisika. Sains metafisika mengkaji objek-objek atau
wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh
materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi. Sains matematika
mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun
berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika,
astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya.
Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan
materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan,
binatang dan manusia (secara fisik). Dalam klasifikasi sains islam karena
status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak
(yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana
objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki
objek ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains
tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika. (Created by ical)
Referensi
NDP Metodologi Cak Nur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar