Sabtu, 03 November 2012

Merindukan Sosok Visioner Untuk Negeri Tercinta


Visi, ”skill”, dan integritas
Mengingat setiap zaman dan situasi memiliki tantangan tersendiri, tidaklah realistis memimpikan munculnya sosok seperti Gandhi, Mandela, Ayatullah Khomeini, atau Soekarno-Hatta. Namun, bangsa ini sungguh merindukan tampilnya pribadi-pribadi unggul di lingkungan kerja masing-masing yang menjadi sumber inspirasi, model, dan penggerak proses perbaikan yang hasilnya bisa diukur.
Dalam kajian manajemen, sosok pribadi unggul setidaknya memenuhi tiga kriteria, yaitu visioner, punya imajinasi, dan wawasan jauh ke depan dalam mengemban tugasnya di tengah perubahan dan persaingan global yang sulit diprediksi.

Kedua, memiliki keterampilan manajemen (managerial skill) guna memimpin proses perubahan yang tertuang dalam program nyata. Ketiga, mereka harus memiliki integritas kuat, sesuai antara ucapan dan tindakan (walk the talk) sehingga menjadi panutan bagi lingkungannya.
Kalaupun ketiganya sulit ditemukan dalam diri seseorang, maka diperlukan tumbuhnya sebuah kultur kepemimpinan kolektif sebagaimana sebuah tim sepak bola yang mengandalkan soliditas kerja sama, kecerdasan strategi, dan daya juang yang tak kenal menyerah. Setidaknya ada 85 nilai yang melekat pada permainan sepak bola yang relevan dengan iklim kerja dan perjuangan hidup. Tiga hal di antaranya, tiap pemain mesti memiliki visi yang jelas, ke mana bola hendak dibawa. Kedua, memiliki keterampilan bagaimana menjinakkan dan membawa bola. Ketiga, mereka harus memiliki integritas tinggi berupa disiplin pada posisi dan perannya, penuh tanggung jawab, dan selalu memberi layanan terbaik kepada sesama teman. Pemain yang tidak terampil dan tidak memiliki integritas pasti dicoret dari tim.
Kita pantas merenung, beberapa negara tetangga yang semula tidak memiliki reputasi sepak bola, demokrasi, dan penegakan hukum serta industri maju, tiba-tiba sudah berdiri jauh di depan. Sekian penduduk Indonesia di Sumatera hanya bekerja sebagai kuli dan penjaga perkebunan kelapa sawit milik negara tetangga. Sekian sarjana terbaik kita menjual kepintarannya pada perusahaan asing di Tanah Air sendiri. Dan banyak sektor jasa, baik pekerja maupun calon konsumen adalah masyarakat Indonesia, namun juragannya adalah orang asing.
Kondisi ini sungguh menyakitkan, saat sebagian politisi selalu meributkan perebutan posisi di badan legislatif dan eksekutif agar bisa membayar utang pada partai yang mengorbitkan. Lalu sebagian tokoh agama sibuk membahas kadar iman dan keyakinan orang lain. Belum lagi setiap pagi disuguhi berita koran dan televisi seputar gagalnya birokrasi pemerintahan dalam melindungi, melayani, memajukan dan menyejahterakan rakyat.
Tak bisa ditunda
Konstatasi itu bukannya berangkat dari pandangan pesimisme, tetapi realitas sosial-politik yang harus direspons serius, karena kebutuhan dan tuntutan perbaikan bangsa ini tidak bisa ditunda-tunda.
Dari berbagai forum seminar dan perdebatan politik salah satunya adalah Indonesia Lawyers Club di TV One, ada kesan para tokoh kita sulit menjadi pendengar dan pembelajar yang baik. Padahal kemenangan dalam perdebatan verbal sering menipu diri sendiri. Semakin seseorang banyak dan keras bicara, kian sulit mendengarkan suara hatinya (inner voice) serta menggali pemikiran alternatif dan orisinal.
Kesan sepintas, orang Jepang lebih banyak mendengar dan belajar dari lawan bicara ketimbang menyerang pendapat orang. Mereka memiliki budaya kerja secara rinci, dan sedikit retorika. Kultur ini berbeda dari Amerika yang selalu mengajarkan kompetisi individual. Apa pun yang akan dikritik atau banggakan tentang Indonesia, kini kita merindukan tampilnya pribadi-pribadi unggul yang menjadi penggerak berbagai bidang profesi, terlebih dengan pelaksanaan otonomi daerah yang jelas-jelas memerlukan tampilnya bupati dan wali kota yang cerdas, terampil, visioner, dan memiliki integritas.
         Kita memerlukan isu, tantangan besar dan cerdas, bukan melulu berita kriminalitas, korupsi, narkoba, serta perebutan ketua partai dan eselon satu. Ada baiknya memandang negara-negara tetangga sebagai friendly competitors, sehingga energi tidak terkuras dengan persaingan dengan sesama parpol yang ideologinya kurang jelas, atau bahkan sama. Dalam membangun demokrasi, parpol itu vital perannya, asal diisi pribadi-pribadi unggul, bukan tampil semata modal popularitas dan uang, namun defisit ilmu, keterampilan, dan karakter.

Artikel yang berkaitan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarokatu. Selamat Datang di Blog SRIADY FAISAL, Ingat beri komentar, Terima kasih