Visi, ”skill”, dan integritas
Mengingat setiap zaman dan situasi memiliki
tantangan tersendiri, tidaklah realistis memimpikan munculnya sosok seperti
Gandhi, Mandela, Ayatullah Khomeini, atau Soekarno-Hatta. Namun, bangsa ini
sungguh merindukan tampilnya pribadi-pribadi unggul di lingkungan kerja
masing-masing yang menjadi sumber inspirasi, model, dan penggerak proses
perbaikan yang hasilnya bisa diukur.
Dalam kajian manajemen, sosok pribadi unggul
setidaknya memenuhi tiga kriteria, yaitu visioner, punya imajinasi, dan wawasan
jauh ke depan dalam mengemban tugasnya di tengah perubahan dan persaingan
global yang sulit diprediksi.
Kedua, memiliki keterampilan manajemen
(managerial skill) guna memimpin proses perubahan yang tertuang dalam program
nyata. Ketiga, mereka harus memiliki integritas kuat, sesuai antara ucapan dan
tindakan (walk the talk) sehingga menjadi panutan bagi lingkungannya.
Kalaupun ketiganya sulit ditemukan dalam
diri seseorang, maka diperlukan tumbuhnya sebuah kultur kepemimpinan kolektif
sebagaimana sebuah tim sepak bola yang mengandalkan soliditas kerja sama,
kecerdasan strategi, dan daya juang yang tak kenal menyerah. Setidaknya ada 85
nilai yang melekat pada permainan sepak bola yang relevan dengan iklim kerja
dan perjuangan hidup. Tiga
hal di antaranya, tiap pemain mesti memiliki visi yang jelas, ke mana bola
hendak dibawa. Kedua, memiliki keterampilan bagaimana menjinakkan dan membawa
bola. Ketiga, mereka harus memiliki integritas tinggi berupa disiplin pada
posisi dan perannya, penuh tanggung jawab, dan selalu memberi layanan terbaik
kepada sesama teman. Pemain yang tidak terampil dan tidak memiliki integritas
pasti dicoret dari tim.
Kita pantas
merenung, beberapa negara tetangga yang semula tidak memiliki reputasi sepak
bola, demokrasi, dan penegakan hukum serta industri maju, tiba-tiba sudah
berdiri jauh di depan. Sekian penduduk Indonesia di Sumatera hanya bekerja
sebagai kuli dan penjaga perkebunan kelapa sawit milik negara tetangga. Sekian
sarjana terbaik kita menjual kepintarannya pada perusahaan asing di Tanah Air
sendiri. Dan banyak sektor jasa, baik pekerja maupun calon konsumen adalah
masyarakat Indonesia, namun juragannya adalah orang asing.
Kondisi ini
sungguh menyakitkan, saat sebagian politisi selalu meributkan perebutan posisi
di badan legislatif dan eksekutif agar bisa membayar utang pada partai yang
mengorbitkan. Lalu sebagian tokoh agama sibuk membahas kadar iman dan keyakinan
orang lain. Belum lagi setiap pagi disuguhi berita koran dan televisi seputar
gagalnya birokrasi pemerintahan dalam melindungi, melayani, memajukan dan
menyejahterakan rakyat.
Tak bisa ditunda
Konstatasi itu
bukannya berangkat dari pandangan pesimisme, tetapi realitas sosial-politik
yang harus direspons serius, karena kebutuhan dan tuntutan perbaikan bangsa ini
tidak bisa ditunda-tunda.
Dari berbagai
forum seminar dan perdebatan politik salah satunya adalah Indonesia Lawyers Club di TV One, ada kesan para tokoh kita sulit menjadi
pendengar dan pembelajar yang baik. Padahal kemenangan dalam perdebatan verbal
sering menipu diri sendiri. Semakin seseorang banyak dan keras bicara, kian
sulit mendengarkan suara hatinya (inner voice) serta menggali pemikiran
alternatif dan orisinal.
Kesan sepintas, orang Jepang lebih banyak
mendengar dan belajar dari lawan bicara ketimbang menyerang pendapat orang.
Mereka memiliki budaya kerja secara rinci, dan sedikit retorika. Kultur ini
berbeda dari Amerika yang selalu mengajarkan kompetisi individual. Apa pun yang
akan dikritik atau banggakan tentang Indonesia, kini kita merindukan tampilnya
pribadi-pribadi unggul yang menjadi penggerak berbagai bidang profesi, terlebih
dengan pelaksanaan otonomi daerah yang jelas-jelas memerlukan tampilnya bupati
dan wali kota yang cerdas, terampil, visioner, dan memiliki integritas.
Kita memerlukan isu, tantangan besar dan cerdas, bukan melulu
berita kriminalitas, korupsi, narkoba, serta perebutan ketua partai dan eselon
satu. Ada baiknya memandang negara-negara tetangga sebagai friendly
competitors, sehingga energi tidak terkuras dengan persaingan dengan sesama
parpol yang ideologinya kurang jelas, atau bahkan sama. Dalam membangun
demokrasi, parpol itu vital perannya, asal diisi pribadi-pribadi unggul, bukan
tampil semata modal popularitas dan uang, namun defisit ilmu, keterampilan, dan
karakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar