Umair bin Saad
“Saya membutuhkan orang seperti Umair bin Saad untuk membantu mengelola
masyarakat kaum muslimin.” (Umar bin Khattab).
Umair bin Saad al-Anshary telah
hidup yatim dan miskin sejak ia masih kecil. Bapaknya meninggal dunia tanpa
meninggalkan harta warisan yang memadai.
Tetapi, untunglah ibunya segera
menikah dengan seorang laki-laki kaya dari suku Aus, Al-Julas bin Suwaid. Maka, Umair ditanggung oleh Julas dan ikut bersama dalam keluarga.
Sejak itu Umair menemukan jasa-jasa baik Julas, pemeliharaan yang bagus,
keindahan belas kasih, sehingga Umair dapat melupakan bahwa ia telah yatim.
Umair menyayangi Julas sebagai layaknya seorang anak kepada
bapak. Begitu pula Julas, sangat mencintai Umair sebagaimana lazimnya cinta
bapak kepada anak. Semakin bertambah usia dan menjadi remaja, bertambah pula
kasih sayang dan simpati Julas kepadanya, karena pembawaannya yang cerdas dan
perbuatan mulia yang selalu diperlihatkannya, kehalusan budi pekerti, amanah,
dan jujur yang senantiasa diperagakannya.
Umair bin Saad masuk Islam dalam usia yang sangat muda,
kira-kira sepuluh tahun lebih sedikit. Ketika itu iman telah mantap dalam
hatinya yang masih segar, lembut, dan polos. Karena itu, iman melekat pada
dirinya dengan kokoh. Dan, Islam mendapatkan jiwanya yang bersih dan halus,
bagaikan mendapat tanah subur. Dalam usianya yang masih muda, Umair tidak
pernah ketinggalan salat berjamaah di belakang Rasulullah saw. Ibunya
senantiasa diliputi kegembiraan setiap melihat anaknya pergi atau pulang dari
masjid, kadang-kadang bersama suaminya dan kadang-kadang seorang diri.
Kehidupan Umair bin Saad pada waktu kecil berjalan lancar,
senang, dan tenang, tidak ada yang mengeruhkan dan mengotori. Sehingga, tiba
masanya Allah menghendaki untuk mengembangkan jiwa anak kecil yang akan
meningkat remaja ini dengan suatu latihan berat, dan mengujinya dengan ujian
yang jarang dilalui anak-anak sebaya dia.
Tahun ke-9 H Rasulullah saw. mengumumkan hendak memerangai
tentara Rum di Tabuk. Beliau memerintahkan kaum muslimin supaya bersiap-siap
menghadapi peperangan tersebut. Biasanya bila hendak pergi berperang,
Rasulullah tidak pernah mengumumkan sasaran yang dituju, kecuali pada
peperangan Tabuk. Rasulullah saw. menjelaskan kepada kaum muslimin sasaran yang
dituju, karena akan menempuh perjalanan jauh dan sulit, serta kekuatan musuh berlipat
ganda, supaya kaum muslimin mengerti dan dapat mempersiapkan diri menghadapai
peperangan tersebut. Di samping itu, musim panas telah mulai dengan suhu
menyengat. Buah-buahan sudah berbuah dan mulai masak. Kaum muslimin yang setia
dan patuh memperhatikan seruan Nabi dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk
perang dengan cermat dan cepat.
Lain lagi golongan munafik, mereka sengaja mengulur-ulur
waktu. Memandang enteng setiap hal yang penting-penting, membangkitakan
keragu-raguan, bahkan mencela kebijaksanaan Rasulullah saw. dan mengucapkan
kata-kata beracun di majelis-majelis khusus mereka yang menimbulkan kekafiran.
Beberapa hari sebelum keberangkatan pasukan tentara
muslimin ke medan perang Tabuk, Umair bin Saad yang baru meningkat remaja
pulang ke rumahnya sesudah salat di masjid. Jiwanya sangat tergugah menyaksikan
pengorbanan yang sangat gemilang, tulus, dan ikhlas dari golongan kaum
muslimin, yang dilihat dan didengarnya dengan mata kepala dan telinganya
sendiri. Dia menyaksikan para
wanita Muhajirin dan Ansar, dengan spontan menyambut seruan Rasulullah saw.
Mereka tinggalkan perhiasannya ketika itu juga, lalu diserahkannya kepada
Rasulullah untuk biaya perang fisabilillah. Dia menyaksikan dengan mata
sendiri. Utsman bin Affan datang membawa pundi-pundi berisi ribuan dinar emas,
lalu diserahkannnya kepada Rasulullah. Abdurrahman bin Auf datang pula membawa
dua ratus uqiyah (1 uqiyah = ? tahlil) emas dan diserahkannya kepada Nabi yang
mulia. Bahkan, dia melihat seorang laki-laki menjual tempat tidur untuk membeli
sebuah pedang yang akan dibawa dan dipakainya berperang fisabilillah.
Umair merasa bangga melihat
kepatuhan dan pengorbanan yang amat mengesankan itu. Sebaliknya, dia sangat
heran melihat orang-orang yang sangat tidak acuh melakukan persiapan untuk
berangkat bersama-sama Rasulullah, dan mengundur-undur waktu menyerahkan
sumbangan kepada beliau, padahal orang itu mampu dan cukup kaya untuk
melakukannya sedini mungkin. Karena itu, jiwanya tergerak hendak membangkitakan
semangat orang-orang yang lalai dan tidak acuh itu. Maka, diceritakannya kepada
mereka segala peristiwa dan didengarnya mengenai sumbangan dan pengorbanan
golongan orang-orang mukmin yang patuh dan setia kepada Rasulullah, terutama
cerita mengenai orang-orang yang datang kepada Rasulullah dengan beriba-iba
memohon supaya mereka diterima menjadi anggota pasukan yang akan turut
berperang. Tetapi, Rasululalh menolak permohonan mereka, karena mereka tidak
mempunyai kuda atau unta kendaraan sendiri. Lalu, orang-orang itu pulang dengan
menangis sedih karena tidak mempunyai kendaraan untuk mencapai cita-cita mereka
hendak turut berjihad dan membuktikan keinginannya memperoleh syahid.
Tetapi, tatkala kaum munafik yang
sengaja berlalai-lalai dan tidak acuh ini mendengar cerita Umair yang dikiranya
akan membangkitakan semangat juang dan pengorbanan mereka, malah sebaliknya
Umair memperoleh jawaban berupa kata-kata yang sungguh-sungguh membingungkan
pemuda cilik yang mukmin ini. Mereka berkata, “Seandainya apa yang dikatakan
Muhammad tentang kenabian itu benar adanya, tentulah kami lebih buruk daripada
keledai.”
Umair sungguh bingung mendengar ucapan itu. Dia tidak
menyangka sedikit jua pun, kata-kata seperti itu justru keluar dari mulut orang
dewasa yang cerdas, Julas bin Suwaid, bapak tiri yang mengasuh dan
membesarkannya selama ini. Kata-kata
yang nyata-nyata mengelurakan orang yang mengucapkannya dari iman dan Islam.
Sementara kebingungan, anak itu juga memikirkan tindakan apa yang harus
dilakukannya. Dia mengambil kesimpulan bahwa Julas diam tidak turut mengambil
bagian dalam kegiatan persiapan perang adalah suatu penghianatan terhadap Allah
dan rasul-Nya dan jelas membahayakan Islam serta termasuk taktik kaum munafik
yang ditiup-tiupkannya sesama mereka. Jika melaporlan dan menyiarkan ucapan
Julas, berarti mendurhakai orang yang selama ini telah dianggapnya sebagai
bapak kandungnya sendiri. Berarti pula membalas air
susu dengan air tuba. Demikian analisa Umair.
Anak kecil itu merasa harus berani mengambil keputusan
segera, melaporkan dan menyiarkan ucapan ayah tirinya, atau diam seribu bahasa.
Dia memilih melaporkan. Dia
berkata kepda Julas, “Demi Allah, hak Bapak! Tidak ada di muka bumi ini orang
yang lebih saya cintai dari Bapak sendiri. Bapak memang sangat berjasa kepada
saya, karena telah turun tangan membahagiakan saya. Tetapi, Bapak telah
mengucapkan kata-kata yang bila saya laporkan pasti akan memalukan Bapak.
Sebalikanya, bila saya diamkan berarti saya menghianati amanah yang akan
mecelakakan diri saya serta agama saya. Sesungguhnya saya telah bertekad hendak
melaporkan dan menyampaikan ucapan Bapak kepada Rasulullah, dan Bapak akan
menjadi saksi nyata terhadap urusan Bapak sendiri.
Umair bin Saad yang masih
anak-anak pergi ke masjid, lalu dilaporkannya kepada Raulullah kata-kata yang didengarnya
sendiri dari bapak tirinya, Julas bin Suwaid. Rasulullah meminta supaya tinggal
lebih dahulu dekat beliau. Sementara itu, beliau menyuruh seorang sahabat
memanggil Julas. Tidak berapa lama kemudian Julas pun datang. Rasulullah
memanggil supaya duduk di hadapan beliau.
Beliau bertanya, “Betulkah
Anda mengucapkan kata-kata seperti yang saya dengar dari Umair bin Saad ?”
Jawab Julas, “Anak itu dusta ya
Rasulullah, saya tidak pernah mengucapkan kata-kata demikian!”
Para sahabat memandang Julas dan
Umair bergantian, seolah-olah mereka ingin memandang wajah pada keduanya apa
yang sesungguhnya tersirat di hati mereka berdua. Lalu, para sahabat
berbisik-bisik sesama mereka, “Anak ini sungguh durhaka. Dia jahat terhadap
orang yang telah berjasa besar mengasuh dan membesarkannya.”
Kata yang lain. “Tidak! dia anak
yang taat kepada Allah. Wajahnya tampan dan elok memancarkan cahaya iman
menunjukkan dia benar.”
Rasulullah menoleh kepada Umair.
Kelihatan oleh Beliau wajah anak itu merah padam. Air matanya jatuh berderai di
pipinya. Kata Umair mendoa, “Wahai Allah turunkanlah saksi kepada Nabi-Mu,
bahwa aku benar!” Julas memperkuat pengakuannya,”Ya Rasulullah, sesungguhnya
apa yang saya katakana kepada Anda tadi itulah yang benar. Jika Anda
menghendaki saya berani bersumpah di hadapan Anda, saya bersumpah dengan nama
Allah bahwa sesungguhnya saya tidak pernah mengucapkan kata-kata seperti yang
dilaporkan Umair kepada Anda.”
Setelah Julas selesai mengucapkan
sumpah, seluruh mata yang hadir memandang kepada Umair bin Saad, sehingga
Rasulullah diam sambil memicingkan mata menunjukkan wahyu sedang turun. Para
sahabat memaklumi hal itu. Mereka pun diam tidak berbunyi sedikit pun jua.
Tidak ada yang berkata-kata dan bergerak. Semua mata tertuju kepada Rasulullah
saw.
Melihat Rasulullah kedatangan
wahyu, Julas menjadi ketakutan. Dia menyesal dan menengok kepada Umair. Situasi
itu berlangsung hingga wahyu selesai turun. Lalu, Rasulullah membacakan ayat
yang diterima beliau, artinya “Mereka bersumpah dengan (menyebut nama Allah)
bahwa mereka tidak mengatakannya. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah memeluk Islam, dan mereka
memutuskan apa yang tidak dapat mereka jalankan (untuk membunuh Nabi saw.,
menghancurkan Islam dan kaum muslimin). Mereka mencela Allah dan Rasul-Nya
tidak lain hanyalah karena Allah telah mencukupi mereka dengan karunia-Nya.
Tetapi, jika mereka bertobat, itulah yang paling baik bagi mereka, dan jika
mereka membelakangi, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang
pedih di dunia dan akhirat, dan mereka tidak mempunyai pelindung dan pembantu
di muka bumi.” (At-Taubah: 74).
Julas gemetar mendengar ayat yang sangat menakutkan itu. Dia hampir tak dapat bicara karena
terkejut. Kemudian, dia berpaling kepada Rasulullah saw. seraya berkata. “Saya
tobat ya Rasulullah, saya tobat! Umairlah yang benar ya Rasulullah. Sayalah
yang dusta, Sudilah Anda memohonkan kepada Allah, semoga Dia menerima tobat
saya. Saya bersedia menebus kesalahan saya, ya Rasululallah!”
Rasulullah menghadapkan mukanya
kepada Umair bin Saad yang tiba-tiba bercucuran air mata gembira membasahi
mukanya yang berseri oleh cahaya iman. Lalu, Rasulullah dengan gembira
mengulurkan tangannya yang mulia, menarik telinga Umair dengan lembut seraya
berkata, “Telingamu cukup nyaring, nak! Allah membenarkan apa yang engkau
dengar.”
Julas telah kembali kepada Islam
dan menjadi muslim yang baik. Para sahabat telah mengetahui bagaimana besarnya
jasa baik Julas mengasuh dan membesarkan Umair selaku anak tiri. Dia
bertanggung jawab penuh sebagaimana layaknya bapak kandung Umair. Setiap kali
orang menyebut nama Umair di hadapannya, dia berkata dengan tulus, “Semoga
Allah membalasi Umair dengan segala kebajikan, karena dia telah membebaskan
saya dari kekafiran dan dari api neraka.”
Kisah yang kita ceritakan ini
belum merupakan gambaran puncak dari kehidupan Umair, melainkan baru merupakan
gambaran kehidupannya waktu kecil. Marilah kita lihat gambaran kehidupannya
yang lebih gemilang dan indah di waktu mudanya.
Baru saja kita melihat dengan
jelas bentuk kehidupan sahabat yang mulia, Umair bin Saad, waktu dia masih
kanak-kanak. Sekarang marilah kita lihat bentuk kehidupannya yang cemerlang
saat dia telah dewasa. Anda akan menyaksikan kehidupan tahap kedua ini tidak
kurang gemilangnya dari tahap pertama: agung dan megah.
Penduduk Hims sangat kritis
terhadap para pembesar mereka sehingga sering mengadu kepada khalifah. Setiap pembesar yang baru datang memerintah, ada saja celanya bagi
mereka. Dicatatnya segala kesalahan pembesar itu, lalu dilaporkannya kepada
khalifah dan minta diganti dengan yang lebih baik. Karena itu, khalifah Umar
mencari seorang yang tidak bercacat dan namanya belum pernah rusak untuk
menjadi gubernur di sana. Lalu, beliau sebar pembantu-pembantunya untuk mencari
orang yang paling tepat. Maka, tidak diperolehnya orang yang lebih baik selain
Umair bin Saad. Tetapi, sayang Umair ketika itu sedang bertugas memimpin
pasukan perang fi sabilillah di wilayah Syam. Dalam tugas itu dia berhasil
membebaskan beberapa kota, menghancurkan beberapa benteng, menundukkan beberapa
kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya.
Saat seperti itulah Amirul Mukminin memanggilnya kembali ke
Madinah untuk memangku jabatan gubernur di Hims. Khalifah Umar memerintahkan
untuk segera berangkat ke Hims. Umair menerima perintah tersebut dengan hati
enggan, karena baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah.
Setibanya di Hims, dipanggilnya orang banyak berkumpul ke
masjid untuk salat berjamaah. Selesai salat dia berpidato. Mula-mula dia memuji
Allah dan mengucapkan selawat untuk Nabi, dan kemudian dia berkata, “Hai
manusia, sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang kokoh dan pintu yang
kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan dan pintunya ialah kebenaran (al-haq).
Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh, pertahanan agama akan sirna.
Islam akan senantiasa kuat selama kekuasaan tegak dengan kokoh. Tegaknya
kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula dengan pedang, melainkan dengan
menegakkan keadilan dan melaksanakan yang hak.”
Selesai berpidato, dia langsung bertugas sesuai dengan
khitah yang telah digariskan dalam pidatonya yang singkat itu.
Umair bin Saad bertugas sebagai gubernur di Hims hanya
setahun penuh. Selama itu dia
tidak menulis surat sepucuk pun kepada Amirul Mukminin. Tidak satu dinar atau
satu dirham pun dia menyetorkan pajak ke Baitul Mal Muslimin (perbendaharaan
negara) di Madinah. Karena itu, timbul kecurigaan di hati Khalifah Umar. Dia
sangat khawatir kalaul-kalau pemerintahan yang dipimpin Umair mengalami bencana
(menyelewengkan uang negara), karena tidak ada orang yang maksum (terpelihara
dari dosa) selain Rasululah saw. Lalu, beliau memerintahkan sekretaris negara
untuk menulis surat kepada Gubernur Umair.
Kata kalifah Umar, “Tulislah
surat kepada Umair, katakanlah kepadanya, ‘Bila surat ini sampai di tangan
Anda, tinggalkanlah Hims dan segeralah menghadap Amirul Mukminin. Jangan lupa
membawa sekalian pajak yang Anda pungut dari kaum muslimin’.”
Selesai surat tersebut di baca
oleh Gubernur Umair, maka diambilnya kantong perbekalan dan diisinya tempat air
untuk persediaan air wudu dalam perjalanan. Lalu, dia berangkat meninggalkan
Hims. Dia pergi mengayun langkah menuju Madinah dengan berjalan kaki. Ketika
hampir tiba di Madinah keadaannya pucat (karena kurang makan dalam perjalanan),
tubuhnya kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia
tampak sangat letih karena perjalanan yang begitu jauh.
Umair segera masuk menghadap Amirul Mukminin Umar bin
Khattab. Khalifah Umar terkejut melihat keadaan Umair, lalu dia bertanya,
“Bagaimana keadaan Anda wahai Umair?”
Jawab Umair, “Tidak kurang suatu apa. Saya sehat walafiat,
alhamdulillah! Saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya.”
Tanya Khalifah Umar, “Dunia manakah yang Anda bawa?”
(Khalifah menduga dia membawa uang setoran pajak untuk Baitul Mal).
Jawab Umair, “Saya membawa kantong perbekalan dan tempat
air untuk bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudu, untuk membasahi
kepala, dan untuk minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang lain tidak
saya perlukan.”
Tanya khalifah, “Apakah Anda datang berjalan kaki?”
Jawab, “Betul, ya Amirul Mukminin!”
Tanya, “Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?
Jawab, “Tidak, mereka tidak memberi saya dan saya tidak pula memintanya dari
mereka.”
Tanya, “Mana setoran yang Anda bawa untuk Baitul Mal?”
Jawab, “Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Mal”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab, “Setibanya di Himsh, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya
perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil
mengumpulkannya saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus
digunakan dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak.”
Khalifah Umar berkata kepda juru tulis, “Perpanjang masa
jatah Umair sebagai gubernur Hims.”
Kata Umair, “Maaf khalifah! saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai saat
ini saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk orang lain sesudah Anda,
wahai Amirul Mukminin.”
Kemudian Umair minta izin untuk
pergi ke sebuah dusun di pinggiran kota Madinah dan akan menetap di sana
bersama keluarganya. Lalu, khalifah mengizinkannya.
Belum begitu lama Umair tinggal
di dusun tersebut, Khalifah Umar ingin mengetahui keadaan sahabatnya itu,
bagaimana kehidupannya dan apa yang diusahakannya. Lalu, diperintahkannya
Al-Harits, seorang kepercayaan khalifah, “Pergilah engkau menemui Umair,
tinggallah di rumahnya selama tiga hari sebagai tamu. Bila engkau lihat keadaannya
bahagia penuh nikmat, kembalilah sebagaimana engkau datang. Jika engkau melihat
keadaaannya melarat, berilah uang ini kepadanya.” Khalifah Umar memberikan
pundi berisi seratus dinar kepada Al-Harits.
Al-Harits pergi ke dusun tempat Umair tinggal. Dia bertanya ke sana-sini di mana rumah
Umair. Setelah bertemu, Al-Harits mengucapkan salam, “Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.”
Jawab Umair, “Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Anda datang dari
mana?”
Jawab Harits, “Dari Madinah!”
Tanya Umair, “Bagaimana keadaan kaum muslimin sepeninggal Anda?”
Jawab Harits, “Baik-baik saja.”
Tanya, “Bagaimana kabar Amirul Mukminin?”
Jawab, “Alhamdulilah baik.”
Tanya, “Adakah ditegakkannya hukum?”
“Tentu, malahan baru-baru ini dia menghukum dari anaknya sendiri
sampai mati karena bersalah melakukan perbuatan keji.”
Kata Umair, “Wahai Allah,
tolonglah Umar! Saya tahu, sungguh dia sangat mencintai-Mu, wahai Allah!”
Al-Harits menjadi tamu Umair
selama tiga malam. Tiap malam Harits hanya dijamu
dengan sebuah roti terbuat dari gandum. Pada hari ketiga, seorang laki-laki
kampung berkata kepada Harits, “Sesungguhnya Anda telah menyusahkan Umair dan
keluarganya. Mereka tidak
punya apa-apa selain roti yang disuguhkannya kepada Anda. Mereka lebih
memerintahkan Anda walaupun dia sekeluarga harus menahan lapar. Jika Anda tidak
keberatan, sebaiknya Anda pindah ke rumah saya menjadi tamu saya.”
Al-Harits mengeluarkan
pundi-pundi uang dinar, lalu diberikannya kepada Umair. Tanya Umair, “Apa ini?”
Jawab Harits, “Amirul mukminin mengeluarkannya untuk Anda.”
Kata Umair, “Kembalikan saja uang itu kepada beliau. Sampaikan salamku dan
katakan kepada beliau bahwasanya aku tidak membutuhkan uang itu.”
Istri Umair yang mendengar percakapan suaminya dengan
Harits berteriak, “Terima saja wahai Umair! Jika engkau butuh sesuatu engkau
dapat membelanjakannya. Jika tidak, engkau pun dapat membagi-bagikannya kepada
orang-orang yang membutuhkan.”
Mendengar Ucapan istri Umair, Harits meletakan uang itu di
hadapan Umair. Kemudian, dia pergi. Umair memungut uang itu lalu dimasukkannya
ke dalam beberapa pundi-pundi kecil. Dia tidak tidur samapi tengah malam
sebelum uang itu habis dibagi-bagikannaya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sangat diutamakannya memberikannya kepada anak-anak yatim, yang orang tuanya
tewas seabgai syuhada di medan perang fi sabilillah.
Al-Harits kembali ke Madinah. Setibanya di Madinah Khalifah
Umar bertanya, “Bagaimana keadaan Umair?”
Jawab Harits, “Sangat menyedihkan ya Amirul Mukminin.”
Tanya Khalifah, “Sudah engkau berikan uang itu kepadanya?”
Jawab.”Ya, sudah aku berikan.”
Tanya, “Apa yang dibuatnya dengan uang itu?”
Jawab, “Saya tidak tahu. Tetapi, saya kira uang itu mungkin hanya tinggal satu
dirham saja untuknya.”
Khalifah Umar menulis surat kepada Umair, katanya, “Bila
surat ini selesai Anda baca, janganlah Anda letakan sebelum menghadap kepada
saya.” Umair bin Saad datang ke Madinah memenuhi panggilan Khalifah. Sampai di
Madinah dia langsung menghadap Amirul Mukminin. Khalifah Umar mengucapkan
selamat datang dan memberikan alas duduk yang dipakainya kepada Umair, sebagai
pengohormatan.
Tanya Khalifah, “Apa yang Anda perbuat dengan uang itu ya
Umair?”
Jawab Umair, “Apa maksud Anda
menanyakan sesudah uang itu Anda berikan kepadaku?”
Jawab Khalifah, “Saya hanya ingin tahu, barangkali Anda mau menceritakannya.”
Jawab Umair, “Uang itu saya simpan untuk saya sendiri dan akan saya manfaatkan
nanti pada suatu hari ketika harta dan anak-anak tidak bermanfaat lagi, yaitu
hari kiamat.”
Mendengar jawaban Umair, Khalifah Umar menangis sehingga
air matanya jatuh bercucuran. Katanya, “Saya menjadi saksi, sesungguhnya Anda tergolong orang yang
mementingkan orang lain sekalipun Anda sendiri melarat.”
Kemudian, khalifah menyuruh
seseorang mengambil satu wasak pangan dan dua helai pakaian, lalu diberikannya
kepada Umair.
Kata Umair, “Kami tidak
membutuhkan makanakan, ya Amirul Mukminin. Saya ada meninggalkan dua sha’
gandum untuk keluarga saya. Mudah-mudahan itu cukup untuk makan kami sampai
Allah Taala memberi lagi rezeki untuk kami. Tetapi, pakaian ini saya terima
untuk istri saya, karena pakaiannya sudah terlalu usang sehingga hampir
telanjang.”
Tidak lama sesudah pertemuan
Umair dengan khalifah, Allah mengizinkannya untuk bertemu dengan Nabi yang
sangat dicintai dan dirindukannya, yaitu Muhammad bin Abdullah, Rasulullah saw.
Umair pergi menempuh jalan akhirat, mempertaruhkan jiwa raganya dengan
langkah-langkah yang senantiasa mantap. Dia tidak
membawa beban berat di punggung berupa kemewahan dunia. Tetapi, dia pergi
dengan cahaya Allah yang selalu membimbingnya: wara dan takwa.
Ketika Khalifah Umar mendengar kematian Umair, bukan main
sedihnya. Sehingga, dia mengurut dada karena menyesal. Kata Khalifah, “Saya
membutuhkan orang-orang seperti Umair bin Saad untuk membantu saya mengelola
masyarakat kaum muslimin.”
Semoga Allah meridai Umair bin Saad dan semoga
dia senang dalam keridaan-Nya. Dia telah menempuh cara yang diambilnya sendiri
di antara sekian banyak orang. Dia adalah bekas mahasiswa yang menonjol di
universitas Muhammad bin Abdullah. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar