Utsman bin Mazh’un
Tatkala cahaya agama Islam mulai bersinar dari kalbu Rasulullah saw dan dari
ucapan-ucapan yang disampaikannya di beberapa majelis, baik secara diam-diam
maupun terang-terangan, Utsman bin Mazh’un adalah salah seorang dari beberapa
gelintir manusia yang segera menerima panggilan Ilahi dan menggabungkan diri ke
dalam kelompok pengikut Rasulullah saw. Ia adalah di
antara sahabat Nabi saw yang masuk Islam pada urutan keempat belas.
Dalam kehidupannya, ia pun tidak luput dari ancaman kaum
biadab golongan kuffar Qurasy yang tidak menyukai kedatangan dan keberadaan
agama baru, Islam. Ia ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagaimana
dialami oleh orang-orang Mukmin lainnya, pengikut setia pembawa risalah baru
yang lurus, Rasulullah saw.
Ketika keselamatan golongan kecil dari orang-orang beriman
dan teraniaya ini menjadi pilihan utama Rasulullah saw, dengan jalan
menyuruhnya berhijrah ke Habsyi, maka dipilihlah seorang yang juga membawa
puteranya bernama Saib, Utsman bin Mazh’un, memimpin rombongan pertama dari
Muhajirin ini.
Dalam perantauannya, Utsman bin Mazh’un tidak dapat
melupakan rencana-rencana jahat mereka termasuk saudara sepupunya, Umayah bin
Khalaf. Dihiburlah dirinya dengan menggubah sya’ir yang berisikan sindiran dan
peringatan terhadap saudaranya itu, katanya:
“Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya
Kamu runcing ia setajam-tajamnya
Kamu perangi orang-orang yang suci lagi mulia
Kamu celakan ornag-orang yang berwibawa
Ingatlah nanti saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata”
Suatu ketika tersiarlah kabar bahwa orang-orang Qurasy
telah beriman dan menganut agama yang dibawa oleh Rasulullah saw. Dengan hati
riang dan gembira, bangkitlah orang-orang Muhajirin mengemasi barang-barangnya
untuk kembali ke Mekah. Mereka sungguh telah merindukan kampung halamannya.
Akan tetapi, baru saja mereka sampai di dekat kota,
ternyata berita tentang masuknya kaum Quraisy telah beriman hanyalah berita bohong
belaka. Mereka benar-benar
merasa terpukul dengan kejadian dan tipuan ini. Betapa tidak, untuk pergi lagi
perjalanan mereka sudah terlanjur sampai dekat kota Mekah. Sementara itu,
orang-orang musyrik di kota Mekah telah mendengar datangnya buronan yang telah
lama mereka kejar-kejar. Perangkap-perangkap pun mereka siapkan. Takdir telah
menentukannya, datanglah barisan kaum Muslimin ke tampat itu.
Untungnya, nasib baik masih
menyertai Utsman bin Mazh’un sebagai pemimpin rombongan kala itu. Perlindungan
ketika itu merupakan suatu tradisi di antara tradisi-tradisi Arab yang memiliki
kekudusan dan sangat dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung
masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, maka ia akan berada
dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tidak boleh ditumpahkan.
Hanya sebagian kecil yang dapat masuk memperoleh perlindungan itu. Termasuk di
antaranya adalah Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Walid bin
Mughirah. Ia pun selamat hingga masuk ke kota Mekah.
Di tengah keberadaan kaum
Muslimin di Mekah yang dilanda kecemasan dan ketakutan karena perlakuan
orang-orang musyrik, Utsman bin Mazh’un, seorang yang telah ditempa Al-Qur’an
dan didikan langsung dari Rasulullah saw, merasa prihatin dan dalam dirinya
timbul perasaan berontak menyikapi keadaan itu. Utsman bin Mazh’un keluar dari
rumah perlindungannya dengan tekad dan niat yang bulat.
Mari kita dengarkan cerita dari
saksi mata yang melukiskan kejadian peristiwa itu!
“Ketika Utsman bin Mazh’un menyaksikan
penderitaan yang dialami oleh para sahabat Rasulullah saw, sementara ia sendiri
pulang pergi dengan aman dan tenteram disebabkan perlindungan Walid bin
Mughirah, katanya, ‘Demi Allah, sesungguhnya mondar-mandirku dalam keadaan aman
disebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedang teman-teman
sejawat dan kawan-kawan seagama menderita adzab dan siksa yang tidak kualami,
merupakan suatu kerugian besar bagiku ….’
“Lalu ia pergi mendapatkan Walid
bin Mughirah, katanya, ‘Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindungan Anda,
dan sekarang ini saya melepaskan diri dari perlindungan Anda.’ ‘Mengapa, wahai
keponakanku?’ ujar Walid. ‘Mungkin ada salah seorang anak buahku yang
mengganggumu?’ ‘Tidak,’ ujar Utsman bin Mazh’un. ‘Hanya, saya ingin berlindung
kepada Allah, dan tidak suka lagi kepada lain-Nya. Karenanya, pergilah Anda ke
masjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti Anda dahulu
mengumumkan perlindungan terhadap diriku!”
“Lalu, pergilah mereka berdua ke
masjid, maka kata Walid, ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku
jaminan perlindungan terhadap dirinya.’ Ulas Utsman, ‘Betullah kiranya apa yang
dikatakan itu …, ternyata ia seorang yang memegang teguh janjinya …, hanya
keinginan saya agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada Allah
Ta’ala.”
Setelah itu, Utsman bin Mazh’un
pun berlalulah, sementara di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid
bin Rabi’ah menggubah sebuah syair dan melagukannya di hadapan mereka, hingga
Utsman bin Mazh’un menjadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka.
Kata Lubaid:
“Ingatlah bahwa apa juga yang
terdapat di bawah kolong ini selain dari Allah adalah hampa.” “Benar, ucapan
Anda itu,” kata Utsman bin Mazh’un menanggapinya. Kata Lubaid lagi, “Dan semua
kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna.” “Itu dusta!” kata Utsman,
“Karena kesenangan surga takkan lenyap.” Kata Lubaid:
“Hai orang-orang Qurasy! Demi
Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini.
Bagaimana sikap kalian kalau ini terjadi?” Berkatalah salah seorang di antara
mereka, “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita, jadi tidak usah digubris,
apa ucapannya!”
Utsman bin Mazh’un membalas
ucapannya itu hingga di antara mereka terjadi pertengkaran. Dengan perasaan
marah, orang itu tiba-tiba bangkit mendekati Utsman lalu meninjunya hingga
tepat mengenai matanya, sementara Walid bin Mughirah masih berada di dekat itu
dan menyaksikan apa yang terjadi. Maka katanya kepada Utsman, “Wahai
keponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, maka sungguh,
benteng perlindunganmu amat tangguh!” Ujar Utsman, “Tidak, bahkan mataku yang
sehat ini amat membutuhkan pula pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan
Allah. Dan sungguh wahai Abu Syams, saya berada dalam perlindungan Allah yang
lebih kuat dan lebih mampu daripadamu.” “Ayuhlah Utsman,” kata Walid pula,
“Jika kamu ingin, kembalilah masuk ke dalam perlindunganku!” “Terima kasih,”
ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu. Ibnu Mazh’un kemudian meninggalkan
tempat itu; Utsman pun pergi. Di tengah perjalanan menuju rumahnya, dengan hati
gembira, ia mendendangkan pantun:
“Andaikata dalam
mencintai ridla Ilahi
Mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi
Maka Yang Maha Rahman telah menyediakan imbalannya
Karena siapa yang diridhai-Nya pasti berbahagia
Hai ummat, walau menurut katamu daku ini sesat
Daku ‘kan tetap dalam agama Rasul, Muhammad
Dan tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan agama yang haq
walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena.”
Utsman bin Mazh’un telah
memperlihatkan kepada kita suatu teladan yang menunjukan pribadi utama yang
harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa.
Setelah tidak mendapatkan
perlindungan dari Walid, Utsman bin Mazh’un mulai mendapat siksaan dari
orang-orang Quraisy. Akan tetapi, karena ketabahan dan kekuatan jiwanya,
penderitaannya dirasakan dengan ikhlas dan bahagia.
Suatu ketika Utsman bin Mazh’un
hijrah pula ke Madinah, hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab dan
kawan-kawannya. Ia berangkat ke Madinah bersama rombongan sahabat-sahabat utama
yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian yang
telah mencapai puncak kesulitan dan kesukarannya.
Di Madinah, tempat hijrahnya yang
baru itu, Utsman bin Mazh’un sangat tekun dan rajin beribadah: malam harinya
bagai rahib dengan ibadah shalat dan dzikirnya; siang harinya bagai pahlawan
dengan berjuang membela kebenaran. Dengan ketabahan dalam zuhud dan ketekunan
dalam ibadahnya, ia mencapai puncak tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik
siang maupun malam dialihnya menjadi shalat yang terus-menerus dan tasbih yang
tiada henti-hentinya. Rupanya ia telah memperoleh dan merasakan kemanisan
beribdah kepada Allah SWT.
Dengan berpakaian usang yang
telah sobek-sobek; yang ditambalnya dengan kulit unta, suatu hari ia masuk
masjid, sementara Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya.
Rasulullah saw kemudian bertanya kepada para sahabatnya:
“Bagaimana pendapat
Kalian, bila Kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari
diganti dengan stelan lainnya … kemudian disiapkan di depan kalian suatu
perangkat wadah makanan sebagai ganti perangkat lainnya yang telah diangkat …
serta kalian dapat menutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana Ka’bah
bertutup ….?”
“Kami ingin hal itu dapat
terjadi, wahai Rasulullah,” ujar mereka, “… hingga kita dapat mengalami hidup
makmur dan bahagia!” Maka sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya hal itu
telah terjadi, kemudian Kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan Kalian
waktu lalu.”
Meskipun Utsman bin Mazh’un ikut
mendengarkan percakapan itu, ia tidak terpengaruh dengan jawaban para sahabat
yang mengharapkan berbagai kecukupan. Ia tetap menjalani hidup dengan bersahaja
dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia, sampai-sampai kepada urusan
menggauli isterinya hendak menahan diri. Rasulullah pun memanggil dan
menyampaikan kepadanya, “Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas
dirimu.”
Utsman bin Mazh’un amat dicintai oleh Rasulullah saw. Tatkala ruhnya yang suci itu
berkemas-kemas hendak berangkat menuju tempat tujuannya, Rasulullah berada di
sisinya. Beliau saw membungkuk dan mencium keningnya, seraya membasahi kedua
pipinya dengan derai air mata. Wajah Utsman bin Mazh’un tampak bersinar
gilang-gemilang saat kematiannya. Ia seorang Muhajirin yang kali pertama wafat
di Madinah; juga yang pertama kali dimakamkan di Baqi’.
Bersabdalah Rasulullah saw
melepas sahabatnya yang tercinta itu:
“Semoga Allah memberimu rahmat, wahai Abu Saib….
Kamu pergi meninggalkan dunia, tak satu keuntungan pun yang kamu peroleh
daripadanya, serta tak satu kerugian pun yang dideritanya daripadamu.”
Sepeninggal sahabatnya itu,
Rasulullah tidak melupakannya. Ketika melepas puterinya, Rukayah; ketika
nyawanya hendak melayang, Beliau pun berkata:
“Pergilah susul pendahulu
kita yang pilihan, Utsman bin Mazh’un!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar