1.
Nasionalisme
Paham
nasionalisme berkembang dan menyebar dari Eropa ke seluruh dunia pada abad 19
dan 20. Pada intinya nasionalisme menitikberatkan kecintaan pada bangsa dan
negara. Menurut Otto Bouer, nasionalisme muncul karena adanya
persamaan sikap dan tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama,
sedangkan Hans Kohn berpendapat bahwa nasionalisme adalah
suatu paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu kepada negara dan
bangsa. Sementara
itu, Ernest Renant menyatakan, nasionalisme ada ketika muncul
keinginan untuk bersatu. Prinsip-prinsip nasionalisme juga dianut oleh kaum pergerakan nasional Indonesia setelah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen.
Berdasarkan pertimbangan heterogenitas itu, Indische Partiij (1992), mengembangkan paham nasionalisme
Hindia. Pengembangan paham itu bertujuan mempersatukan penduduk bumiputera,
Arab, Cina, dan keturunan Belanda.
Nasionalisme
timbul menjadi kekuataan penggerak di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad
ke-18, selanjutnya paham itu tumbuh dan berkembang ke seluruh Eropa pada abad
ke-19, hingga awal abad ke-20. Pada abad ke-20, nasionalisme menjalar dan
berkembang ke wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Atas dasar itu abad
ke-19 dapat disebut zaman pertumbuhan dan perjuangan nasionalisme modern Asia,
Afrika, dan Amerika Latin, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya telah
melahirkan banyak negara merdeka di dunia. Tumbuh dan berkembangnya
nasionalisme modern, pada dasarnya disebabkan karena struktur sosial
tradisional dengan sistem hubungan yang didasarkan pada persamaan–persamaan
yang bersifat primordialistik itu dipandang tidak cocok lagi dengan
perkembangan keadaan alam dan zaman karena basis dasarnya dinilai terlalu
konservatif dan dapat menimbulkan halhal yang bersifat chauvinistik atau
nasionalisme yang berlebihan, antagonistik, serta ketertutupan negara terhadap
pengaruh negara lain.
Selain itu,
sebab lain lahirnya nasionalisme adalah penaklukan negara bangsa lain oleh
negara tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat negara bangsa
yang ditaklukan. Oleh sebab itu, nasionalisme sering diasosiasikan sebagai
ekspansinisme, imperialisme, dan peperangan. Tumbuh dan berkembangnya pemikiran
nasionalisme modern itu tidaklah dipelopori oleh kalangan politikus atau
negarawan, tetapi oleh para ahli ilmu pengetahuan dan budayawan seperti pelopor
dan pemikir nasionalisme modern di Eropa Barat antara lain John Locke, J.J. Rousseau, John
Gottfried Herder, dan lain-lain.
2. Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos yang artinya rakyat, dan kratos yang
berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi berarti pemerintahan “dari rakyat untuk
rakyat”. Prinsip-prinsip yang mendasari ide demokrasi adalah
konstitusionalisme, kedaulatan rakyat, aparat yang bertanggungjawab, jaminan
kewajiban sipil, pemerintah berdasarkan undang-undang, dan asas mayoritas.
Demokrasi bukan ideologi politik yang digunakan demi kepentingan sekelompok
kecil masyarakat (seperti dalam ide liberalisme klasik) atau untuk kepentingan
partai (seperti dalam ideologi komunisme), melainkan untuk kepentingan seluruh
lapisan masyarakat, yang diatur secara tertib oleh pemerintah yang terbentuk
atas suara mayoritas.
Demokrasi sudah
ada pada jaman Yunani kuno, yang dikenal dengan demokrasi langsung, dimana
rakyat seluruhnya bisa langsung atau memutuskan suatu perkara. Hal ini
dimungkinkan karena saat itu di Yunani masih berbentuk negara-kota (polis) yang
penduduknya sekitar 30 orang per polis. Pada Revolusi Amerika tahun 1776 dalamDeclaration of Independence, menyatakan bahwa tidak
ada kekuasaan yang adil tanpa persetujuan rakyat. Saat ini demokrasi digunakan
sebagai dasar dalam sistem pemerintahan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Tetapi tidak semua negara menerapkan demokrasi yang sama, karena masingmasing
negara mengadopsi aliran-aliran sistem pemerintahan lain dan unsur
latarbelakang masyarakatnya, untuk dipadukan dengan sistem pemerintahan
demokrasi. Seperti halnya di Indonesia terdapat beberapa istilah demokrasi yang
pernah diterapkan, antara lain Demokrasi Liberal atau Parlementer, Demokrasi
Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila.
3.
Liberalisme
Liberal berasal
dari kata “liberty”, yang
berarti kebebasan. Kebebasan dalam arti kemerdekaan pribadi, hak untuk
mendapatkan perlindungan, dan kebebasan dalam menentukan sikap. Liberalisme
adalah suatu aliran pemikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang
atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya
sebebas mungkin. Istilah ini baru digunakan pada abad ke-19 dan berasal dari
kaum pemberontak Spanyol yang menamakan dirinya “liberalisme”, kendatipun
liberalisme sebetulnya telah berkembang pada masa sebelumnya. Liberalisme telah
dimulai sejak era Renaissance, yang memperjuangkan kebebasan manusia dari
dominasi gereja atau agama, politik dan ekonomi. Kebebasan dalam bidang politik
melahirkan konsep tentang negara yang demokratis. Dalam bidang ekonomi,
liberalisme menentang campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dalam usaha,
sebisa mungkin peranan swasta diutamakan.
Berdasarkan
pada keyakinan bahwa semua sumber kemajuan terletak dalam perkembangan pribadi
manusia yang bebas. Aliran ini memperjuangkan kedaulatan rakyat dan kebebasan
individu terhadap berbagai bentuk kekuasaan mutlak. Langkah pertama
perjuangannya telah dilakukan oleh gerakan reformasi. Dalam abad ke-17 dan 18
timbul perlawanan terhadap absolutisme dan perjuangan menuju kebebasan jiwa dan
bernegara. Tokoh liberalisme antara lain John Locke, Voltaire, Montequieu, J.J. Rousseau. Sementara itu tokoh-tokoh
liberalisme dalam bidang ekonomi adalah Adam Smith, David Ricardo, dan Robert Malthus.
Beberapa tokoh yang bisa dianggap sebagai
penganut dan yang mengembangkan paham liberalisme, yaitu :
(a) John Locke. Menurut pendapatnya, negara
terbentuk dari perjanjiann sosial antara individu dengan yang hidup bebas
dengan penguasa.
(b)
Montesquieu. Dalam bukunya spirit the law, terdapat pemisahan kekuasaan dalam
pemerintahan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tujuannya
agar terdapat pengawasan antar lembaga agar tidak terjadi penyalahgunaan
wewenang. Pemerintahan Inggris telah menerapkan paham liberalisme, yaitu dalam Magna Charta tahun
1215,tentang penjaminan hak individu oleh hukum. Dalam
peristiwa Revolusi Prancis tahun 1789, berhasil menjatuhkan monarki absolut dan
digantikan dengan mendirikan negara liberal berdasarkan Konstitusi.
Liberalisme memperjuangkan pelbagai kebebasan
yang hendaknya dijamin dalam undang-undang dasar, di antaranya kebebasan agama,
kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat. Kebebasan yang
diperjuangkan itu hanya terjamin dalam negara hukum yang mengindahkan Trias
Politika. Bentuk negara yang diidamkan adalah demokrasi parlemen dengan
persamaan hak bagi seluruh rakyat di depan hukum dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia. Cita-cita liberalisme telah mencetuskan Revolusi
Industri di Inggris (1688),
Revolusi Amerika (1776), dan Revolusi Prancis
(1789).
4. Sosialisme
Sosialisme ialah paham yang menghendaki suatu masyarakat dibentuk secara
kolektif (oleh kita, untuk kita). Titik berat dari paham ini ada pada
masyarakat, bukan individu. Dan dalam hal ini sosialisme merupakan lawan dari
liberalisme. Pada awalnya sosialisme muncul sebagai reaksi atas liberalisme
abad ke-19. Pendukung liberalisme adalah kelas menengah (middle class), yang oleh Karl Marx disebut kaum
“borjuis”. Kelas menengah ini adalah memiliki industri, perdagangan dan
memiliki pengaruh dalam masyarakat dan pemerintah. Ketertindasan kaum buruh
oleh para pemilik modal (kapital) menimbulkan reaksi golongan kelas menengah,
yang sampai sekarang dikenal dengan istilah gerakan sosialisme. Tujuannya
menghilangkan pertentangan antar kelas, kelas buruh dan pemodal. Oleh Marx,
sosialisme dikembangkan menjadi komunisme.
5. Komunisme
Paham ini lahir dari gagasan Karl Marx yang kemudian didengungkan dan
diperkenalkan oleh sahabat Marx, Friedrich Engels. Paham ini kemudian dikembangkan
oleh Lenin, pemimpin Uni Soviet. Dengan demikian,
terkadang komunisme disebut juga ajaran Marxisme atau Leninisme.
Marxisme adalah ajaran yang
sangat menjiwai gerakangerakan sosialis-komunis dengan filsafat yang
materialistis (historis materialisme) dan dialektis materialisme serta
perjuangan kelas. Ajaran ini diteruskan oleh Vladimir Lenin menjadi paham
Marxisme-Leninisme yang di Indonesia dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Pada
awalnya marxisme adalah ilmu sejarah yang terdiri atas suatu sistem
konsep-konsep ilmiah baru yang memberikan kemungkinan mempelajari sejarah
sebagai sebuah ilmu, yang sebelumnya hanya menjadi ideologi atau filsafat
sejarah, bukan ilmu yang mandiri. Oleh Marx, paham ini disebut “materialisme
sejarah” atau “materialisme historis”, sedangkan oleh Engels disebut materialisme
dialektis. Yang terpenting dalam ajaran Marx adalah perjuangan kelas, ajaran
basis-superstruktur masyarakat, dan revolusi.
Menurut Marx, sejarah
manusia adalah sejarah yang berisi peperangan antarkelas. Gerakan kaum buruh
merupakan ekspresi dari perang tersebut karena kaum buruh sangat menghendaki
penghapusan kelas sosial. Kaum buruh menuntut agar pendapatan ekonomi semua
manusia rata. Kaum kapitalis ingin meningkatkan keuntungan dengan menekan biaya
produksi, sedangkan kaum proletar ingin meningkatkan pendapatannya.
Ekonomi masyarakat, menurut
Marx, ditandai dengan perjuangan antara kelas atas yang memiliki modal atau
alatproduksi atau mesin (kapitalis) dengan kelas bawah yang hanya memiliki
tenaga (proletar); kedua kepentingan tersebut kontradiktif dan disebut hubungan
produksi. Alat- kerja, buruh, dan pengalaman kerja disebut tenaga produktif.
Marx berpendapat, basis masyarakat ditandai oleh kontradiksi atau
ketegangan, karena di satu pihak tenaga itu berkembang terusmenerus secara
progresif, seiring dengan perkembangan iptek. Marx menguraikan bahwa mata
pencarian manusia menentukan cara berpikirnya; dengan kata lain: kesadaran
manusia ditentukan oleh cara produksi barang material dalam masyarakat. Marx
memandang kehidupan masyarakat sebagai dua unsur yang berhubungan searah:
ekonomi sebagai basis (infrastruktur) masyarakat yang menentukan politik,
moralitas, agama, hukum, filsafat, ilmu-pengetahuan, dan berbagai bentuk
kesadaran manusia lainnya sebagai superstrukturnya. Maka dari itu, bila sistem infrastruktur
masyarakat (ekonomi) diubah maka berubah pula semua sistem superstrukturnya.
Sementara itu di kemudian hari Lenin atau Vladimir Ilyic Ulyanov tidak
menyetujui sikapInternasionale II yang
menanti zaman sosialisme. Lenin tak percaya dan yakin bahwa kaum proletar dapat
mengambil prakarsa dalam mengadakan perjuangan kelas atau revolusi. Oleh karena
itu, menurutnya, revolusi proletar harus dipimpin oleh sebuah partai politik.
Para anggota partai haruslah dari golongan intelektual yang bertugas memberikan
pemahaman tentang kesadaran kelas yang revolusioner (bersifat tiba-tiba dan
cepat, lawannya evolusioner) kepada kaum buruh dengan propaganda-propaganda.
Partai komunis pun harus memiliki kader-kader sebagai penerus estafet perluasan
ajaran. Di Cina, kaum petani pun dimasukkan sebagai kelas proletar, temannya
kaum buruh.
6. Pan Islamisme
Pan Islamisme merupakan penjelmaan modern dari ajaran tradisional Islam
mengenai persatuan antarumat Islam (al wahdah al-Islamiyyah atau al-ittihad al-Islamiyyah).
Ajaran ini menyebutkan bahwa kaum muslim termasuk ke dalam umat Islam
universal, di mana pun mereka berada. Persatuan pan- Islamisme mengatasi
berbagai perbedaan bahasa, budaya, atau etnis di kalangan muslim. Penyeru awal
gerakan pan-Islamisme adalahSultan Abdul Hamid II yang
menguasai Kesultanan Usmani pada 1876 hingga 1909. Ia berusaha mempersatukan
Islam di bawah panji Usmani, namun setelah Usmani runtuh, pan-Islamisme pun
redup.
Pan Islamisme didengungkan kembali setelah kaum muslim terpecah-belah pada akhir
abad ke-19 dan ketika itu sebagian besar negeri muslim berada dalam cengkeraman
kolonialismeimperialisme. Menurut salah seorang penganjurnya, Jamaluddin al-Afgani(1838-1897),
keadaan kaum muslim yang tercerai-berai itu merupakan salah satu kelemahan kaum
muslim. Berkat peran Jamaluddin al-Afgani dalam kehidupan politik dan keagamaan
di banyak wilayah Islam (Turki, Mesir, India, Iran, dan Asia Tengah),
pan-Islamisme benar-benar menemukan personifikasi (model atau perumpamaan) dan
juru bicara yang kuat. Afgani menyadari bahwa umat muslim secara keseluruhan
tengah terancam oleh kolonialisme. Maka dari itu persatuan yang kuat harus
digalakkan di kalangan umat.
Gagasan pan-Islamisme juga muncul di Mesir melalui organisasi Ikhwanul Muslimin yang
dibentuk oleh Hasan al Banna (1906-1949). Gagasan ini lewat Ikhwanul
Muslim meluas hingga ke Suriah, Yordania, Palestina, dan negara-negara Timur-
Tengah lainnya. Di Mesir sendiri, gagasan ini ditentang keras ketika Presiden
Gamal Abdel Nasser mengembangkan pan-Arabisme dan kemudian sosialisme Arab.
Sumber :
Suwito, Triyono, 2009, ,
Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 222 – 227.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar