Faktor Kesabaran dan ketegaran Kaum Muslimin
Seorang yang berhati lembut akan berdiri tercenung dan para cendikiawan akan
saling bertanya diantara mereka: "apa sebenarnya sebab-sebab dan
faktor-faktor yang telah membawa kaum Muslimin mencapai puncak dan batas tak
tertandingi dalam ketegarannya?", "bagaimana mungkin mereka bisa
bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang membuat bulu roma merinding
dan hati gemetar begitu mendengarnya? ". Melihat fenomena yang menggoncangkan
jiwa ini, kami menganggap perlunya menyinggung sebagian dari faktor-faktor dan
sebab-sebab tersebut secara ringkas dan singkat:
1. Keimanan kepada Allah
Sebab dan faktor paling utama adalah
keimanan kepada Allah Ta'ala semata dan ma'rifah kepada-Nya dengan
sebenar-benar ma'rifah. Keimanan
yang tegas bila telah menyelinap ke sanubari dapat menimbang gunung dan tidak
akan goyang. Orang yang memiliki
keimanan dan keyakinan seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar,
sebanyak dan serumit apapun seperti lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah
lantas menghancurkan bendungan kuat dan benteng perkasa. Orang yang kondisinya seperti ini,
tidak mempedulikan rintangan apapun lagi karena telah mengenyam manisnya iman,
segarnya keta'atan serta cerianya keyakinan. Allah
berfirman: "Adapun
buih itu akan hilang sebagia sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi ". (Q,.
S.ar-Ra 'd: 17) Dari sebab
utama ini, kemudian berkembang dan beralih kepada sebab-sebab lain yang
semuanya tidak lain menguatkan ketegaran dan kesabaran tersebut seperti yang
akan disebutkan selanjutnya.
2. Kepemimpinan yang digandrungi oleh
setiap hati
Sosok Rasulullah adalah
sosok seorang pemimpin umat Islam tertinggi. Tidak
saja bagi umat Islam tetapi untuk seluruh manusia. Beliau memiliki postur tubuh yang
ideal, jiwa yang sempurna, akhlak luhur, sifat-sifat yang terhormat dan ciri
fisik yang agung. Hal ini dapat
menyebabkan hati tertawan dan membuat jiwa rela berjuang untuknya sampai tetas
darah terakhir. Kesempurnaan yang
diberikan kepadanya tersebut tidak pernah diberikan kepada siapapun. Ia menempati posisi puncak dalam
derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan. Demikian pula dari sisi kesucian diri,
amanah, kejujuran dan semua jalan-jalan kebaikan tidak ada yang menandinginya. Jangankan oleh para pencinta dan
shahabat karib beliau, musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi hal itu. Ungkapan yang pernah terlontarkan dari
mulut beliau pastilah membuat mereka langsung meyakini kejujurannya dan
kebenarnya. Suatu ketika, tiga orang tokoh Quraisy berkumpul. Masing-masing dari mereka ternyata
telah mendengarkan Al-Qur'an secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua
temannya yang lain, namun kemudian rahasia itu tersingkap. Salah seorang dari mereka bertanya
kepada Abu Jahal-yang merupakan salah seorang dari ketiga orang
tersebut-: "bagaimana
pendapatmu tentang apa yang kamu dengar dari Muhammad tersebut?" "apa yang telah aku dengar? Memang kami telah berselisih dengan
Bani 'Abdi Manaf dalam persoalan derajat sosial; sementara mereka makan,
kamipun makan; mereka menanggung sesuatu, kamipun ikut menanggungnya; mereka
memberi, kamipun memberi hingga akhirnya kami sejajar diatas tunggangan yang
sama (setara derajatnya-red). Kami
ibarat dua kuda perang yang sedang bertaruh. Lalu
tiba-tiba mereka berkata: 'kami memiliki nabi yang membawa wahyu dari langit!'. Kapan kami mengetahui hal ini? Demi Allah! kami tidak akan beriman sama sekali
kepadanya dan tidak akan membenarkannya ". Abu Jahal pernah berkata: "wahai
Muhammad! sesungguhnya kami tidak
pernah memdustakanmu akan tetapi kami mendustakan apa yang engkau bawa ". Lalu turunlah ayat: "Sebenarnya mereka bukan mendustakan,
tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah". (Q,. S.al-An 'am: 33). Suatu ketika kaum Kafir mempermainkan
beliau dengan saling mengerling diantara mereka. Mereka melakukan itu sampai tiga kali. Pada kali ketiga ini, barulah beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab: "wahai kaum Quraisy! sungguh aku datang membawakan
sembelihan untuk kalian ". Ucapan
beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka Bahkan orang yang paling
kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan
sebaik-baik ucapan yang pernah ia dapatkan. Ketika mereka melempar kotoran onta ke
arah kepala beliau saat sedang sujud, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka. Tawa yang tadinya menyeringai di bibir
mereka berubah menjadi kegundahan dan kecemasan karena mereka yakin akan
binasa. Beliau mendoakan
kebinasaan atas 'Utbah bin Abi Lahab. Orang
ini masih yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam terhadapnya. Maka,
ketika dia melihat segerombolan singa, segera dia bergumam: "Demi Allah! dia (Muhammad) telah membunuhku
padahal dia berada di Mekkah ". Ubay
bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh beliau, namun beliau menantangnya:
"akulah yang akan membunuhmu, insya Allah". Maka, pada perang Uhud, tatkala ia
berhasil mencederai Ubay di bagian lehernya, yakni goresan yang tidak terlalu
melebar, Ubay berkomentar: "Sesungguhnya apa yang diucapkannya di Mekkah
di hadapanku dulu: 'akulah yang akan membunuhmu' telah terjadi. Demi Allah!andai dia meludah saja ke
arahku niscaya itu akan dapat membunuhku ". Pembahasan tentang ini akan disajikan
pada bahasan mendatang. Sa'd bin
Mu'adz-saat berada di Mekkah-pernah berkata kepada Umayyah bin Khalaf:
"Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
bersabda:' Sesungguhnya mereka-Muslim-telah memerangimu '". Mendengar ini, dia tampak sangat takut
sekali dan berjanji untuk tidak akan keluar dari Mekkah. Ketika dipaksa oleh Abu Jahal untuk
berperang di Badar, dia membeli keledai yang paling bagus di Mekkah untuk
digunakannya bila suatu ketika dapat kabur. Saat
itu, istrinya berkata kepadanya: "Wahai Abu Shafwan! Apakah engkau lupa apa yang dikatakan
saudaramu dari Yatsrib tersebut? ". Dia
menjawab: "Demi Allah! bukan
demikian tetapi aku tidak akan mau berhadapan langsung dengan mereka kecuali
memang sudah dekat benar jaraknya ". Demikianlah
kondisi musuh-musuh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Adapun kondisi para shahabat dan
rekan-rekan beliau lain lagi; posisi beliau di sisi mereka ibarat ruh dan jiwa
dan semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus terhadap diri beliau
mengalir terhadap beliau bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap
beliau laksana tarik magnet terhadap besi. Oleh karena itu, sebagai implikasi
dari rasa cinta dan siap mati ini membuat mereka tidak gentar bila leher harus
terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh duri. Suatu hari ketika di Mekkah, Abu Bakar
bin Abi Quhafah pernah diinjak dan dipukul dengan keras. Di tengah kondisi seperti itu, 'Utbah
bin Rabi'ah mendekatinya sembari memukulinya lagi dengan kedua terompahnya yang
tebal dan melayangkannya ke arah wajahnya. Tidak
cukup disitu, dia kemudian melompat diatas badannya dan jatuh tepat di atas
perut Abu Bakar hingga wajahnya bonyok, tidak bisa diketahui lagi mana letak
hidung dari wajahnya. Setelah
itu, dia diangkut dengan menggunakan bajunya oleh suku Bani Tamim kemudian
dicampakkan ke rumahnya. Mereka
sama sekali tidak menyangsikan bahwa dia pasti sudah tidak bernyawa. Saat hari beranjak sore, dia tersadar
dan berbicara: "apa yang terjadi terhadap diri
Rasulullah?". Mereka mencibirnya dengan lisan mereka dan
mengumpatinya, lalu berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair:
"Terserah, apa yang akan engkau lakukan; memberinya makan atau minum
". Ketika sang ibu hanya
tinggal berdua saja dengan anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi, justru sang anak malah
berkata: "apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?". Ibunya menjawab: "demi Allah! aku tidak tahu sama sekali tentang
shahabatmu itu ". Dia
berkata: "kalau begitu, pergilah menjumpai Ummu Jamil binti al-Khaththab
lalu tanyakanlah kepadanya". Sang
ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah Ummu Jamil, lantas berkata:
"sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin 'Abdullah
". Dia menjawab: "aku
tidak kenal siapa Abu Bakar dan juga Muhammad bin 'Abdullah. Jika engkau ingin aku menyertaimu
menemui anakmu, akan aku lakukan ". Dia
menjawab: "ya". Akhirnya
keduanya berlalu sampai akhirnya menemukan Abubakar dalam kondisi terkapar tak
berdaya. Ummu Jamil mendekatinya
seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak: "demi Allah! sesungguhnya kaum yang melakukan
tindakan ini terhadapmu adalah orang yang fasik dan kafir.Sungguh, aku berharap
semoga Allah membalaskan untukmu terhadap mereka ". Abubakar malah berkata lagi: "apa
yang terjadi terhadap diri Rasulullah?". Ummu
Jamil berkata: "Ini ibumu ikut mendengarkan". Dia berkata: "Tidak usah khawatir
terhadapnya" Dia menjawab :
"beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam kondisi sehat dan bugar". Dia berkata lagi: "dimana dia
sekarang?" "ada di Dar
Ibnu al-Arqam", jawabnya. Dia
berkata lagi: "aku bersumpah kepada Allah untuk tidak mencicipi makanan
dan meminum minuman sampai aku mendatangi Rasulullah ". Keduanya mengulur-ulur waktu sejenak,
hingga bilamana kondisi Abu Bakar sudah tenang dan orang-orang mulai sepi,
keduanya berangkat keluar membawanya dengan dipapah. Lalu dipertemukanlah dirinya dengan
Rasulullah ". Bentuk kecintaan yang demikian langka serta pengorbanan
hidup seperti ini akan kami bahas pada beberapa bagian dari buku ini, terutama
yang terjadi pada waktu perang Uhud dan yang terjadi terhadap Khubaib dan
semisalnya.
3. Rasa tanggung jawab
Para shahabat menyadari secara penuh
akan besarnya tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak manusia. Tanggung jawab ini tidak dapat dihindari
dan diselewengkan betapapun kondisinya sebab keteledoran dan lari dari rasa
tanggung jawab ini memiliki implikasi yang sangat besar dan berbahaya dari
penindasan yang dirasakan oleh mereka.Kerugian yang diderita oleh umat manusia
secara keseluruhan bila lari darinya, tidak dapat diukur dengan
kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi akibat dari beban yang ditanggung
tersebut.
4. Iman kepada Akhirat
Ini merupakan salah satu faktor yang
memperkuat tumbuhnya rasa tanggung jawab tersebut. Mereka memiliki keyakinan yang kuat
bahwa mereka akan dibangkitkan kelak menghadap Rabb semesta alam, amal mereka
diperiksa dengan sedetail-detailnya; besar dan kecilnya. Jadi, hanya ada dua pilihan; ke surga
yang penuh dengan kesenangan atau ke neraka Jahim yang penuh dengan azab yang
abadi. Mereka menjalani kehidupan
mereka antara rasa takut dan pengharapan; mengharapkan rahmat Rabb mereka dan
takut akan siksa-Nya. Mereka
adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut". (Q,. S. Al-Mukminun: 60). Mereka mengetahui bahwa dunia dengan
penderitaan dan kesenangan yang ada di dalamnya tidak akan bisa menyamai
sepasang sayap nyamuk (tidak ada apa-apanya-red) bila dibandingkan dengan
kehidupan di Akhirat. Pengetahuan
mereka yang kuat tentang hal inilah yang meringankan mereka di dalam menghadapi
kepayahan, kesulitan dan kepahitan yang ada di dunia sehingga mereka tidak
menyibukkan diri untuk mengoleksinya sebanyak mungkin bahkan terbetik di hati
merekapun tidak.
5. al-Qur’an
Pada rentang waktu yang amat kritis dan sulit ini, turunlah surat-surat dan
ayat-ayat Allah guna memberikan hujjah dan bukti atas kebenaran risalah Islam
dan prinsip-prinsipnya dimana dakwah berada pada porosnya. Al-Qur’an tampil
dengan gaya bahasa yang valid dan indah, mengarahkan kaum Muslimin kepada pondasi-pondasi
yang kelak atas qadar Allah terbentuk komunitas manusia yang paling agung dan
mempesona di muka bumi ini, yaitu masyarakat Islam. Surat-surat dan ayat-ayat
tersebut juga amat membangkitkan sensitifitas dan ego kaum Muslimin untuk
bersabar dan pantang menyerah, menguraikan sikap tersebut dengan bahasa
permisalan dan menjelaskan kepada mereka apa hikmah di balik itu. Allah
berfirman (artinya) : “Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:’Kami telah
beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?,[2]. Dan sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”.
[3]. (Q,.s.al-‘Ankabût/29: 2-3).
Ayat-ayat tersebut juga mementahkan argumentasi-argumentasi kaum Kafir dan para pembangkang dengan bantahan yang membuat mereka mati kutu sehingga tidak memiliki trik lain untuk mengelak. Ayat-ayat tersebut sekali waktu juga memperingatkan mereka akan akibat yang fatal dari kengototan mereka di dalam pembangkangan dan kesesatan dengan pemaparan yang jelas dan transparan, berpedoman kepada Hari-Hari Allah dan peristiwa historis yang menunjukkan adanya sunnatullah terhadap para wali dan musuh-Nya. Sekali waktu pula, menyapa mereka secara ramah, memfungsikan gaya bahasa dengan pertanyaan, petunjuk dan pengarahan sehingga dengan itu mereka mau berpaling dari kesesatan nyata yang tengah mereka lakukan.
Al-Qur’an juga membimbing kaum Muslimin menuju alam lain, memperlihatkan mereka hal yang membuat hati mereka bergetar; pemandangan alam semesta, keindahan rububiyah, kesempurnaan uluhiyyah, jejak-jejak rahmat dan kasih sayang serta keridlaan-Nya.
Di balik lipatan ayat-ayat tersebut terdapat pesan-pesan untuk kaum Muslimin. Disana, Rabb memberitakan kabar gembira buat mereka berupa rahmat dan keridlaan-Nya serta surga yang telah disiapkan buat mereka, di dalamnya mereka mendapatkan kenikmatan abadi. Ayat-ayat tersebut juga memberikan gambaran kepada mereka tentang bagaimana musuh-musuh mereka; kaum kafir dan para Thaghut yang zhalim dihukumi dan diinterogasi lalu wajah mereka dijerembabkan ke api neraka sehingga mereka merasakan betapa pedihnya neraka Saqar.
6. Berita-Berita Gembira tentang Kemenangan
Meskipun kaum Muslimin mengetahui akan berita-berita gembira ini, namun mereka juga mengetahui sejak pertama kali mengalami perlakukan kasar dan penindasan –bahkan sebelum itu- bahwa masuk Islam bukan berarti tersingkirnya semua musibah dan kematian tersebut tetapi sejak awal lahirnya, dakwah Islamiyah bertujuan untuk mengakhiri dunia Jahiliyyah dan sistemnya yang zhalim. Mereka juga mengetahui bahwa buah dari hal itu di dunia ini adalah terbentangnya kekuasaan diatas muka bumi dan penguasaan terhadap kondisi politis di seluruh alam yang dapat menggiring umat manusia dan komunitas manusia secara keseluruhan ke dalam keridlaan Allah dan mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan terhadap Allah semata.
Sesekali al-Qur’an turun dengan berita-berita gembira ini secara lantang dan terkadang berupa kinayah (sindiran). Maka, di dalam rentang waktu yang amat kritis seperti ini dimana bumi dirasakan sempit oleh kaum Muslimin, mencekik mereka bahkan seakan ingin mengakhiri kehidupan mereka; turunlah ayat-ayat tersebut sebagaimana yang dulu terjadi diantara para Nabi dan kaum mereka berupa pendustaan dan pengingkaran. Ayat-ayat tersebut berisi hal yang menyinggung kondisi-kondisi yang persis sama dengan kondisi-kondisi kaum Muslimin di Mekkah dan orang-orang kafir disana. Ayat-ayat tersebut kemudian menyinggung peralihan kondisi berupa kebinasaan kaum kafir dan orang-orang yang zhalim dan kesuksesan hamba-hamba Allah di dalam mewarisi kekuasaan di muka bumi dan seluruh negeri. Di dalam kisah-kisah ini terdapat isyarat yang jelas akan kegagalan penduduk Mekkah nantinya dan kesuksesan kaum Muslimin dan dakwah islamiyah yang mereka bawa.
Di dalam tenggang waktu tersebut, turunlah beberapa ayat yang secara terang-terangan memberitakan kabar gembira, berupa kemenangan kaum Mukminin sebagaimana di dalam beberapa firman-Nya berikut:
1. Firman-Nya (artinya):
“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, [171]. (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan,[172]. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang,[173]. Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari mereka sampai suatu ketika,[174]. Dan lihatlah mereka, maka kelak mereka akan melihat (azab itu),[175]. Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami disegerakan,[176]. Maka apabila siksaan itu turun di halaman mereka, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu”.[177] (Q,.s.ash-Shaffât/37: 171-177)
2. Firman-Nya (artinya):
Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (Q,.s.al-Qamar/54:45)
3. Firman-Nya: (artinya):
Suatu tentara yang besar yang berada di sana dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan. (Q,.s.Shâd/38:11)
4. Firman-Nya yang turun terhadap orang-orang yang berhijrah ke Habasyah (artinya):
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia.Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (Q,.s.an-Nahl/16:41)
5. Firman-Nya tatkala mereka bertanya kepada beliau tentang kisah Nabi Yusuf 'alaihissalâm (artinya):
Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. (Q,.s.Yûsûf/12:7)
Yakni penduduk Mekkah yang bertanya tersebut akan mengalami kegagalan sebagaimana yang pernah dialami oleh saudara-saudara Yusuf dan mereka akan menyerah sebagaimana mereka menyerah.
6. Firman-Nya tatkala mengingatkan para Rasul (artinya):
Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka:"Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami".Maka Rabb mewahyukan kepada mereka:"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu,[13]. dan Kami pasti akan menempatkan kamu dinegeri-negeri itu sesudah mereka.Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku, [14]". (Q,.s.Ibrâhim/14:14)
Ketika perang berkecamuk antara bangsa Persia dan Romawi; kaum Kafir lebih senang bila bangsa Persia yang menang karena mereka memiliki kesamaan sifat, yaitu perbuatan syirik, sedangkan kaum Muslimin lebih cenderung bila kemenangan berada di pihak bangsa Romawi karena memiliki kesamaan sifat, yaitu beriman kepada Allah, para Rasul, wahyu, kitab-kitab dan Hari Akhir.
Kemenangan memang berada di pihak bangsa Persia, lalu Allah menurunkan ayat yang memberitakan kabar gembira bahwa bangsa Romawi akan mengalami kemenangan dalam beberapa tahun kemudian (dan hal ini memang terjadi-red). Tidak sebatas itu saja, ayat tersebut menyebutkan kabar gembira yang lain secara terang-terangan, yaitu Allah akan menolong kaum Mukminin di dalam firman-Nya (artinya): “dan pada hari itu, kaum Mukminin bergembira dengan pertolongan Allah”. (Q,.s.ar-Rûm/30: 4-5)
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sendiri sering menyampaikan kabar gembira seperti ini di sela waktu-waktu tertentu ; di saat datang musim haji dan berada di tengah orang-orang di pasar ‘Ukâzh, Majinnah dan Dzi al-Majâz untuk menyampaikan risalah dakwah, beliau tidak hanya memberitakan kabar gembira tentang surga saja, tetapi secara lantang berkata kepada mereka: “wahai manusia! Ucapkanlah ‘Lâ ilâha illallâh’ niscaya kalian akan beruntung, menguasai bangsa Arab dan menundukkan orang-orang asing;jika kalian mati, maka kalian akan menjadi raja di surga”. (Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Sa’d: I/216)
Kami telah memaparkan sebelumnya jawaban Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada ‘Utbah bin Rabî’ah berupa keinginannya untuk menegosiasi beliau dengan gemerlap duniawi, serta apa yang dipahami dan diharapankan olehnya terkait dengan kemenangan yang akan dicapai oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Demikian pula, tentang jawaban Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam terhadap delegasi terakhir yang mendatangi Abu Thalib. Ketika itu beliau secara terus terang meminta kepada mereka satu rangkaian kata saja yang apabila mereka memberikannya, maka semua bangsa Arab akan tunduk kepada mereka dan mereka dapat menguasai orang-orang asing.
Khabbab bin al-Aratt berkata: “Aku mendatangi Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam saat beliau tidur dengan berbaring di atas burdahnya dan berteduh di bawah naungan Ka’bah. Kami juga saat itu telah mengalami penyiksaan berat dari kaum Musyrikun. Lantas aku berkata: ‘tidakkah engkau berdoa kepada Allah!’ (agar menolong para shahabat-red). mendengar ucapan ini, beliau langsung duduk sedangkan raut wajahnya tampak memerah sembari berkata: ‘sungguh, orang-orang sebelum kalian pernah diseset dengan sesetan besi panas yang menusuk daging hingga mengenai tulang belulang dan urat. Akan tetapi hal itu semua tidak membuat mereka bergeming sedikitpun dari dien mereka. Sungguh Allah akan menyempurnakan urusan agama ini hingga seorang pejalan kaki berjalan dari Shan’â ke Hadlramaut tidak ada yang ditakutkannya selain Allah Ta’ala. Dalam penjelasan periwayat hadits disebutkan : “…dan tidak juga dia mengkhawatirkan kambingnya diterkam srigala”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan tambahan: “…akan tetapi kalian terburu-buru (ingin cepat memetik hasil-red)”.
Kabar-kabar gembira tersebut tidak ditutup-tutupi dan terselubung akan tetapi dipublikasikan secara terbuka dan diketahui baik oleh orang-orang kafir maupun kaum Muslimin. Indikasinya, al-Aswad bin al-Muththalib dan rekan-rekan mengobrolnya saling mengedip-ngedipkan mata diantara sesama mereka bila melihat para shahabat Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melintasi mereka, sembari berkata: “Raja-raja bumi yang akan mewarisi kekisraan Persia dan kekaisaran Romawi sudah datang kepada kalian”, kemudian mereka bersiul-siul dan bertepuk tangan.
Dengan adanya kabar-kabar gembira tentang masa depan yang akan cemerlang di dunia diselai oleh pengharapan yang tulus dan sungguh-sungguh akan kemenangan menggapai surga sebagai hasil akhirnya kelak, para shahabat memandang bahwa penindasan yang beraneka ragam dan silih berganti dari semua lini tersebut serta musibah-musibah yang mengepung mereka dari segala penjuru hanyalah sebagai ‘gumpalan awan musim panas yang dalam sekejap akan sirna’.
Demikianlah, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam senantiasa menyuguhkan santapan rohani kepada mereka dengan rangsangan keimanan; menyucikan jiwa mereka dengan mengajarkan al-Hikmah (hadits) dan al-Qur’an; mendidik mereka dengan pendidikan yang detail dan mendalam; mendorong jiwa mereka agar menduduki keluhuran ruh, kemurnian hati, kebersihan budi pekerti, keterbebasan dari pengaruh materilistik, pembendungan terhadap hawa nafsu serta kembali kepada Rabb bumi dan langit; mengasah bara di hati mereka; mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju nur; mengajak mereka bersabar terhadap semua gangguan, memiliki sifat pema’af serta menundukkan jiwa. Dengan gamblengan semacam itu, mereka menjadi bertambah kokoh di dalam agama, menjauhkan diri dari hawa nafsu, siap mengorbankan jiwa di jalan yang diridlai oleh-Nya, merindukan surga, berkemauan kuat untuk menuntut ilmu dan memahami agama, mengintrospeksi jiwa dan menundukkan sentimen-sentimen yang tumbuh, mengalahkan perasaan-perasaan dan gejolak-gejolak jiwa serta selalu mengikat diri dengan kesabaran, kedamaian dan ketenangan.
Ayat-ayat tersebut juga mementahkan argumentasi-argumentasi kaum Kafir dan para pembangkang dengan bantahan yang membuat mereka mati kutu sehingga tidak memiliki trik lain untuk mengelak. Ayat-ayat tersebut sekali waktu juga memperingatkan mereka akan akibat yang fatal dari kengototan mereka di dalam pembangkangan dan kesesatan dengan pemaparan yang jelas dan transparan, berpedoman kepada Hari-Hari Allah dan peristiwa historis yang menunjukkan adanya sunnatullah terhadap para wali dan musuh-Nya. Sekali waktu pula, menyapa mereka secara ramah, memfungsikan gaya bahasa dengan pertanyaan, petunjuk dan pengarahan sehingga dengan itu mereka mau berpaling dari kesesatan nyata yang tengah mereka lakukan.
Al-Qur’an juga membimbing kaum Muslimin menuju alam lain, memperlihatkan mereka hal yang membuat hati mereka bergetar; pemandangan alam semesta, keindahan rububiyah, kesempurnaan uluhiyyah, jejak-jejak rahmat dan kasih sayang serta keridlaan-Nya.
Di balik lipatan ayat-ayat tersebut terdapat pesan-pesan untuk kaum Muslimin. Disana, Rabb memberitakan kabar gembira buat mereka berupa rahmat dan keridlaan-Nya serta surga yang telah disiapkan buat mereka, di dalamnya mereka mendapatkan kenikmatan abadi. Ayat-ayat tersebut juga memberikan gambaran kepada mereka tentang bagaimana musuh-musuh mereka; kaum kafir dan para Thaghut yang zhalim dihukumi dan diinterogasi lalu wajah mereka dijerembabkan ke api neraka sehingga mereka merasakan betapa pedihnya neraka Saqar.
6. Berita-Berita Gembira tentang Kemenangan
Meskipun kaum Muslimin mengetahui akan berita-berita gembira ini, namun mereka juga mengetahui sejak pertama kali mengalami perlakukan kasar dan penindasan –bahkan sebelum itu- bahwa masuk Islam bukan berarti tersingkirnya semua musibah dan kematian tersebut tetapi sejak awal lahirnya, dakwah Islamiyah bertujuan untuk mengakhiri dunia Jahiliyyah dan sistemnya yang zhalim. Mereka juga mengetahui bahwa buah dari hal itu di dunia ini adalah terbentangnya kekuasaan diatas muka bumi dan penguasaan terhadap kondisi politis di seluruh alam yang dapat menggiring umat manusia dan komunitas manusia secara keseluruhan ke dalam keridlaan Allah dan mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap hamba kepada penyembahan terhadap Allah semata.
Sesekali al-Qur’an turun dengan berita-berita gembira ini secara lantang dan terkadang berupa kinayah (sindiran). Maka, di dalam rentang waktu yang amat kritis seperti ini dimana bumi dirasakan sempit oleh kaum Muslimin, mencekik mereka bahkan seakan ingin mengakhiri kehidupan mereka; turunlah ayat-ayat tersebut sebagaimana yang dulu terjadi diantara para Nabi dan kaum mereka berupa pendustaan dan pengingkaran. Ayat-ayat tersebut berisi hal yang menyinggung kondisi-kondisi yang persis sama dengan kondisi-kondisi kaum Muslimin di Mekkah dan orang-orang kafir disana. Ayat-ayat tersebut kemudian menyinggung peralihan kondisi berupa kebinasaan kaum kafir dan orang-orang yang zhalim dan kesuksesan hamba-hamba Allah di dalam mewarisi kekuasaan di muka bumi dan seluruh negeri. Di dalam kisah-kisah ini terdapat isyarat yang jelas akan kegagalan penduduk Mekkah nantinya dan kesuksesan kaum Muslimin dan dakwah islamiyah yang mereka bawa.
Di dalam tenggang waktu tersebut, turunlah beberapa ayat yang secara terang-terangan memberitakan kabar gembira, berupa kemenangan kaum Mukminin sebagaimana di dalam beberapa firman-Nya berikut:
1. Firman-Nya (artinya):
“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, [171]. (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan,[172]. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang,[173]. Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari mereka sampai suatu ketika,[174]. Dan lihatlah mereka, maka kelak mereka akan melihat (azab itu),[175]. Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami disegerakan,[176]. Maka apabila siksaan itu turun di halaman mereka, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu”.[177] (Q,.s.ash-Shaffât/37: 171-177)
2. Firman-Nya (artinya):
Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (Q,.s.al-Qamar/54:45)
3. Firman-Nya: (artinya):
Suatu tentara yang besar yang berada di sana dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan. (Q,.s.Shâd/38:11)
4. Firman-Nya yang turun terhadap orang-orang yang berhijrah ke Habasyah (artinya):
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia.Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (Q,.s.an-Nahl/16:41)
5. Firman-Nya tatkala mereka bertanya kepada beliau tentang kisah Nabi Yusuf 'alaihissalâm (artinya):
Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. (Q,.s.Yûsûf/12:7)
Yakni penduduk Mekkah yang bertanya tersebut akan mengalami kegagalan sebagaimana yang pernah dialami oleh saudara-saudara Yusuf dan mereka akan menyerah sebagaimana mereka menyerah.
6. Firman-Nya tatkala mengingatkan para Rasul (artinya):
Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka:"Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami".Maka Rabb mewahyukan kepada mereka:"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu,[13]. dan Kami pasti akan menempatkan kamu dinegeri-negeri itu sesudah mereka.Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku, [14]". (Q,.s.Ibrâhim/14:14)
Ketika perang berkecamuk antara bangsa Persia dan Romawi; kaum Kafir lebih senang bila bangsa Persia yang menang karena mereka memiliki kesamaan sifat, yaitu perbuatan syirik, sedangkan kaum Muslimin lebih cenderung bila kemenangan berada di pihak bangsa Romawi karena memiliki kesamaan sifat, yaitu beriman kepada Allah, para Rasul, wahyu, kitab-kitab dan Hari Akhir.
Kemenangan memang berada di pihak bangsa Persia, lalu Allah menurunkan ayat yang memberitakan kabar gembira bahwa bangsa Romawi akan mengalami kemenangan dalam beberapa tahun kemudian (dan hal ini memang terjadi-red). Tidak sebatas itu saja, ayat tersebut menyebutkan kabar gembira yang lain secara terang-terangan, yaitu Allah akan menolong kaum Mukminin di dalam firman-Nya (artinya): “dan pada hari itu, kaum Mukminin bergembira dengan pertolongan Allah”. (Q,.s.ar-Rûm/30: 4-5)
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sendiri sering menyampaikan kabar gembira seperti ini di sela waktu-waktu tertentu ; di saat datang musim haji dan berada di tengah orang-orang di pasar ‘Ukâzh, Majinnah dan Dzi al-Majâz untuk menyampaikan risalah dakwah, beliau tidak hanya memberitakan kabar gembira tentang surga saja, tetapi secara lantang berkata kepada mereka: “wahai manusia! Ucapkanlah ‘Lâ ilâha illallâh’ niscaya kalian akan beruntung, menguasai bangsa Arab dan menundukkan orang-orang asing;jika kalian mati, maka kalian akan menjadi raja di surga”. (Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Sa’d: I/216)
Kami telah memaparkan sebelumnya jawaban Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada ‘Utbah bin Rabî’ah berupa keinginannya untuk menegosiasi beliau dengan gemerlap duniawi, serta apa yang dipahami dan diharapankan olehnya terkait dengan kemenangan yang akan dicapai oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Demikian pula, tentang jawaban Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam terhadap delegasi terakhir yang mendatangi Abu Thalib. Ketika itu beliau secara terus terang meminta kepada mereka satu rangkaian kata saja yang apabila mereka memberikannya, maka semua bangsa Arab akan tunduk kepada mereka dan mereka dapat menguasai orang-orang asing.
Khabbab bin al-Aratt berkata: “Aku mendatangi Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam saat beliau tidur dengan berbaring di atas burdahnya dan berteduh di bawah naungan Ka’bah. Kami juga saat itu telah mengalami penyiksaan berat dari kaum Musyrikun. Lantas aku berkata: ‘tidakkah engkau berdoa kepada Allah!’ (agar menolong para shahabat-red). mendengar ucapan ini, beliau langsung duduk sedangkan raut wajahnya tampak memerah sembari berkata: ‘sungguh, orang-orang sebelum kalian pernah diseset dengan sesetan besi panas yang menusuk daging hingga mengenai tulang belulang dan urat. Akan tetapi hal itu semua tidak membuat mereka bergeming sedikitpun dari dien mereka. Sungguh Allah akan menyempurnakan urusan agama ini hingga seorang pejalan kaki berjalan dari Shan’â ke Hadlramaut tidak ada yang ditakutkannya selain Allah Ta’ala. Dalam penjelasan periwayat hadits disebutkan : “…dan tidak juga dia mengkhawatirkan kambingnya diterkam srigala”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan tambahan: “…akan tetapi kalian terburu-buru (ingin cepat memetik hasil-red)”.
Kabar-kabar gembira tersebut tidak ditutup-tutupi dan terselubung akan tetapi dipublikasikan secara terbuka dan diketahui baik oleh orang-orang kafir maupun kaum Muslimin. Indikasinya, al-Aswad bin al-Muththalib dan rekan-rekan mengobrolnya saling mengedip-ngedipkan mata diantara sesama mereka bila melihat para shahabat Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melintasi mereka, sembari berkata: “Raja-raja bumi yang akan mewarisi kekisraan Persia dan kekaisaran Romawi sudah datang kepada kalian”, kemudian mereka bersiul-siul dan bertepuk tangan.
Dengan adanya kabar-kabar gembira tentang masa depan yang akan cemerlang di dunia diselai oleh pengharapan yang tulus dan sungguh-sungguh akan kemenangan menggapai surga sebagai hasil akhirnya kelak, para shahabat memandang bahwa penindasan yang beraneka ragam dan silih berganti dari semua lini tersebut serta musibah-musibah yang mengepung mereka dari segala penjuru hanyalah sebagai ‘gumpalan awan musim panas yang dalam sekejap akan sirna’.
Demikianlah, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam senantiasa menyuguhkan santapan rohani kepada mereka dengan rangsangan keimanan; menyucikan jiwa mereka dengan mengajarkan al-Hikmah (hadits) dan al-Qur’an; mendidik mereka dengan pendidikan yang detail dan mendalam; mendorong jiwa mereka agar menduduki keluhuran ruh, kemurnian hati, kebersihan budi pekerti, keterbebasan dari pengaruh materilistik, pembendungan terhadap hawa nafsu serta kembali kepada Rabb bumi dan langit; mengasah bara di hati mereka; mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju nur; mengajak mereka bersabar terhadap semua gangguan, memiliki sifat pema’af serta menundukkan jiwa. Dengan gamblengan semacam itu, mereka menjadi bertambah kokoh di dalam agama, menjauhkan diri dari hawa nafsu, siap mengorbankan jiwa di jalan yang diridlai oleh-Nya, merindukan surga, berkemauan kuat untuk menuntut ilmu dan memahami agama, mengintrospeksi jiwa dan menundukkan sentimen-sentimen yang tumbuh, mengalahkan perasaan-perasaan dan gejolak-gejolak jiwa serta selalu mengikat diri dengan kesabaran, kedamaian dan ketenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar