‘Ammar bin Yasir
Yasir bin ‘Amir, ayahanda ‘Ammar, berangkat meninggalkan negerinya di Yaman
guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya… Rupanya ia berkenan dan
cocok tinggal di Mekah. Bermukimlah ia disana dan mengikat perjanjian
persahabatan dengan Abu Hudzaifah Ibnul Mughirah.
Abu Hudzaifah mengawinkan dengan
salah seorang sahayanya bernama Sumayah binti Khayyath, dan dari perkawinan
yang penuh berkah ini, dikarunia seorang putra bernama ‘Ammar.
Keislaman mereka termasuk dalam
golongan yang pertama, sebagaimana halnya dengan mereka yang pertama masuk
Islam. Mereka cukup menderita dengan sikap kebiadaban dan kekejaman kaum
Quraisy?
Orang-orang Quraisy menjalankan
siasat terhadap kaum muslimin sesuai suasana: seandainya mereka ini golongan
bangasawan dan berpengaruh, mereka hadapi dengan ancaman dan gertakan. Abu
Jahal, misalnya, menggertak dengan ungkapan, “Kamu berani meninggalkan agama
nenek moyangmu padahal mereka lebih baik daripadamu! Akan kami uji sampai
dimana ketabahanmu; akan kami jatuhkan kehormatanmu; akan kami rusak
perniagaanmu; dan akan kami musnahkan harta bendamu!” Setelah itu, mereka
lancarkan kepadanya perang urat syaraf yang amat sengit. Sementara, sekiranya
yang beriman itu dari kalangan penduduk Mekah yang rendah martabatnya dan yang
miskin; atau dari golongan budak belian, mereka didera dan disulutnya dengan
api bernyala.
Keluarga Yasir telah ditakdirkan
oleh Allah SWT termasuk dalam golongan yang kedua ini. Maka, masuklah keluarga
Yasir ke dalam kelompok yang mendapat perlakuan yang zalim dari mereka. Setiap
hari, Yasir, Sumayyah, dan ‘Ammar dibawa ke padang pasir Mekah yang demikian
panas, lalu didera dengan berbagai adzab dan siksa.
Dengan cobaan itu, Sumayyah telah
menunjukan kepada manusia sikap ketabahan, suatu kemuliaan yang tak pernah
hapus dan kehormatan yang pamornya tak pernah luntur; suatu sikap yang telah
menjadikannya seorang bunda kandung bagi orang-orang mu’min disetiap zaman, dan
bagi para budiman sepanjang masa.
Pengorbanan-pengorbanan mulia
yang dahsyat itu tak ubahnya sebagai tumbal yang akan menjamin bagi agama dan
‘aqidah yang teguh dan tak akan lapuk. Ia juga menjadi teladan yang akan
mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggan dan kasih
sayang; ia adalah menara yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi
mendatang untuk mencapai hakikat agama, kebenaran dan kebesarannya?
Untuk meletakkan dasar,
memancangkan tiang-tiang, dan memperkokoh agama-Nya, Allah memperlihatkan model
contoh melalui para pemuka dan tokoh-tokoh utamanya dengan sikap pengorbanan
harta dan jiwanya agar menjadi teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang
kemudian.
Sumayyah, Yassir, dan ‘Ammar
adalah termasuk teladan istimewa, sampai-sampai Rasulullah SAW setiap hari
mennghampiri tempat dimana mereka mendapat siksaan dari orang-orang zalim.
Pada suatu hari, ketika
Rasulullah SAW mengunjungi mereka, ‘Amar memanggilnya, katanya, “Wahai Rosulullah,
adzab yang kami derita telah sampai ke puncak.” Maka, seru Rasulullah SAW, “Sabarlah,
wahai Abal Yaqdhan… Sabarlah, wahai keluarga Yasir?Tempat yang dijanjikan bagi
kalian adalah syurga!”
Betapa beratnya siksaan yang
dialami ‘Ammar oleh kaum yang zalim, dilukiskan oleh kawan-kawannya dalam
beberapa riwayat: berkata ‘Ammar bin Hakam, “Ammar itu disiksa –
sampai-sampai ia tidak menyadari apa yang diucapkannya.”
Berkata pula ‘Ammar bin Maimun, “Orang-orang
musyrik membakar ‘Ammar bin Yasir dengan api.” Maka Rasulullah SAW
lewat di tempatnya, lalu memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil
bersabda, “Hai api, jadikan kamu sejuk dan dingin di tubuh ‘Ammar,
sebagaimana kamu dulu juga sejuk dan dingin di tubuh Ibrahim!”
Orang-orang musrik menghabiskan segala daya dan upaya dalam
melampiaskan kezaliman dan kekejiannya terhadap ‘Ammar, sampai-sampai ia meresa
dirinya benar-benar celaka, ketika siksaan itu mencapai puncaknya: didera,
dicambuk, disalib di hamparan gurun yang panas, ditindih dengan batu laksana
bara merah, dibakar dengan besi panas, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam
air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulitnya yang penuh dengan luka. Ketika ia sampai tidak sadarkan diri
karena siksaan yang demikian berat, orang-orang itu mengatakan kepadanya,
“Pujalah olehmu Tuhan-Tuhan kami!” Mereka ajarkan kepadanya pujaan itu,
sementara ia mengikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya.
Ketika ia siuman sebentar karena
siksaannya berhenti, tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya. Maka,
hilanglah akalnya dan terbayanglah diruang matanya, betapa besar kesalahan yang
telah dilakukannya, suatu dosa besar yang tak dapat ditebus dan diampuni lagi…,
Tetapi iradat Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah memutuskan agar
peristiwa yang mengharukan itu mencapai titik kesudahan yang amat luhur….
Tangan yang penuh berkah itu terulur menjabat tangan ‘Ammar sambil menyampaikan
selamat kepadanya, “Bangunlah hai pahlawan! Tak ada sesalan atasmu dan tak
ada cacat!”
Sungguh benar apa yang telah
difirmankan Allah SWT, artinya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan
dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman,” padahal mereka belum lagi diuji?”
(Q. S. Al-’Ankabut: 2)
“Apakah kalian mengira akan
dapat masuk Syurga, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang
berjuang diantara kalian, begitupun orang-orang yang tabah?” (Q. S. Ali Imran: 142)
“Sungguh, kami telah menguji
orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi Allah orang-orang yang
benar dan terbukti pula orang-orang yang dusta.” (Q. S. Al-’Ankabut: 3)
“Apakah kalian mengira akan
dibiarkan begitu saja, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang
berjaung diantara kalia?” (Q. S. At-Taubah: 16)
“Dan musibah yang telah
menimpa kalian disaat berhadapannya dua pasukan, adalah dengan adzin Allah,
yakni agar terbukti baginya orang-orang yang beriman.” (Q. S. Ali Imran:166)
‘Ammar menghadapi cobaan dan
siksaan itu dengan ketabahn luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah,
lemah, dan bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang maha kokoh. Memang,
demikianlah Al-Qur’an mendidik para pemeluknya: menghadapi kekejaman dan
kekerasan dengan kesabaran, keteguhan dan pantang menyerah, yang merupakan
esensi dari keimanan.
Suatu ketika, Rasulullah SAW
menjumpai ‘Ammar; didapatinya ia sedang menangis, maka disapulah isak tangis
itu dengan tangan beliau seraya sabdanya, “Orang-orang kafir itu telah
menyiksamu dan menenggelamkanmu kedalam air sampai kamu mengucapkan begini dan
begitu…?”
“Benar,” wahai Rasulullah,” ujar
‘Ammar sambil meratap. Maka sabda Rasullah sambil tersenyum, “Jika mereka
memaksamu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi!”
Kemudian, Rasulullah membacakan
kepadanya sebuah ayat:
“Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan.”
(Q. S. An-nahl: 106)
Setelah mendengarnya, kembalilah
‘Ammar dengan hati yang diliputi rasa haru, tenang, dan bahagia: seolah telah
hilang semua penderitaan yang selama ini ia rasakan.
‘Amar menduduki martabat yang
tinggi di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman; Rasulullah SAW amat
sayang kepadanya; beliau sering membanggakannya kepada para sahabat lainnya,
katanya, “Diri ‘Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang pungungnya!”
Ketika terjadi selisih faham
antara Khalid bin Walid dengan ‘Ammar, Rasullah bersabda:
“Siapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan dimusuhi Allah; dan siapa yang
membenci ‘Ammar, maka ia akan dibenci Allah!”
Maka, tak ada pilihan bagi Khalid
bin Walid, pahlawan Islam itu, selain segera mendatangi ‘Ammar untuk mengakui
kekhilafannya dan meminta maaf.
Mengenai perawakan ‘Ammar, para
ahli riwayat melukiskannya sebagai berikut:
Ia adalah seorang yang bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya
yang biru; seorang yang amat pendiam: tidak suka banyak bicara.
Sepak terjangnya di dalam medan
pertempuran, ‘Ammar termasuk pejuang militan yang tangguh. Ia senantiasa ikut
bergabung bersama Rasulullah dalam semua perjuangan bersenjata seperti: perang
Badar, Uhud, Khandak, dan Tabuk. Bahkan, tatkala Rasulullah telah mendahuluinya
ke Ar-Rafiqul A’la, ia tidaklah berhenti, tetapi melanjutkan
perjuangannya secara terus menerus.
Saat pasukan kaum muslimin
berhadap-hadapan dengan kaum Persi dan Romawi, termasuk kaum murtad, ‘Ammar –
sebagai seorang prajurit yang gagah perkasa – selalu berada dibarisan pertama.
Pada masa khalifah Umar, ‘Ammar
bin Yasir, tokoh yang sangat perkasa dan kokoh imannya, juga dipilih untuk
menjadi wali negeri di Kuffah; Ibnu Mas’ud sebagai bendaharanya. Kepada
penduduknya, Ummar menulis sepucuk surat berita gembira dengan diangkatnya wali
negeri baru itu, katanya:
“Saya kirim kepada
tuan-tuan ‘Ammar bin Yasir sebagai Amir, dan Ibnu Mas’ud sebagai bendahara dan
wazir… Keduanya adalah orang-orang pilihan, dari golongan sahabat Muhammad SAW,
dan termasuk pahlawan-pahlawan Badar!”
Dalam melaksankan pemerintahan,
‘Ammar melakukan suatu sistem yang tidak dapat diikuti oleh orang-orang yang
rakus akan dunia. Pangkat dan jabatannya tidak menambah kecuali keshalihan,
zuhud dan kerendahan hatinya. Salah seorang yang hidup pada masanya di Kufah,
Ibnu Abil Hudzail, bercerita, “Saya melihat ‘Ammar bin Yasir sewaktu
menjadi amir di Kufah membeli sayuran di pasar, lalu mengikatnya dengan tali
dan memikulnya di atas punggung dan membawanya pulang.”
Suatu ketika, salah seorang awam
berkata (menghina) kepada ‘Ammar bin Yasir, “Hai, yang telinganya terpotong!”
Mendengar omongan orang itu, sang amir yang tidak kelihatan keamirannya,
berkata, “Yang kamu cela itu adalah telingaku yang terbaik karena ia ditimpa
kecelakaan waktu perang fi sabilillah.”
Memang, telinga ‘Ammar itu putus dalam perang sabil di
Yamamah. Ketika itu, Ammar bin Yasir maju bagaikan angin topan dan menyerbu
barisan tentara Musailamatul Kadzab sehingga melumpuhkan kekuatan
musuh. Ketika gerakan pasukan muslimin mengendor, pasukan kafirin segera
membangkitkan semangatnya dengan seruannya yang gemuruh, hingga mereka kembali
maju menerjang bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya.
Abdullah bin Umar r.a. menceritakan peristiwa itu sebagai
berikut:
“Waktu perang Yamamah, saya melihat ‘Ammar sedang berada disebuah batu karang. Ia berdiri sambil berseru, “Hai kaum
muslimin, apakah tuan-tuan hendak lari dari Syurga…? Inilah, saya: ‘Ammar bin
Yasir, kemarilah tuan-tuan…! Ketika saya melihat dan memperhatikannya, kiranya
sebelah telinganya telah putus beruntai-untai, sedang ia berperang dengan amat
sengitnya.”
Sementara itu, musuh-musuh Islam
bergerak dibawah tanah: berusaha menebus kekalahannya dimedan tempur dengan
jalan meyebarkan fitnah. Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang dicapai
oleh gerakan atau subversi ini. Berhasilnya usaha mereka terhadap Umar,
membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melanjutkannya, mereka sebarkan
fitnah dan nyalakan apinya disebagian besar negeri-negeri Islam. Gerakan ini
menjalar ke Madinah.
Apa yang terjadi pada Umar r.a.,
terjadi pula pada diri Utsman r.a. Peristiwa itu menyebabkan syahidnya Utsman
r.a. dan terbukanya pintu fitnah yang melanda kaum muslimin. Sepeninggal
Utsman, kekalifahan dipegang oleh Ali r.a. Mu’awiyah bangkit hendak merebut
jabatan khalifah dari tangan Ali r.a. Para sahabat, disamping berpihak kepada
Ali, ada juga yang membela Mu’wiyah.
Tahukah anda, di pihak mana,
‘Ammar berdiri waktu itu? Ia berdiri di samping Ali bin Abi Thalib: bukan
karena fanatik tetapi karena tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji –
Ali adalah Khalifah kaum muslimin.
Dengan cahaya pandangan ruhani
dan ketulusannya, ‘Ammar dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam
perselisihan ini. Menurut keyakinannya: tak seorang pun berhak atas hal ini,
selain imam Ali. Oleh karena itu, ia berdiri disampingnya. Ali r.a. merasa
gembira atas sokongan yang diberikan oleh ‘Ammar. Keyakinan Ali r.a. bahwa ia
berada pada pihak yang benar kian bertambah karena dukungan sahabatnya itu.
Kemudian, datanglah saat perang
Shiffin yang mengerikan itu. Imam Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai
tugas memadamkan pembangkangan dan pemberontakan. Sementara, ‘Ammar ikut
bersamanya. Waktu itu, usianya telah mencapai 93 tahun. Ia bangkit menghunus
pedangnya demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.
Pandangan terhadap pertempuran
ini telah lama di maklumkannya dalam kata-kata sebagai berikut:
“Hai ummat manusia! Marilah kita berangakat menuju gerombolan yang
mengaku-ngaku hendak menuntutkan bela Utsman! Demi Allah, maksud mereka
bukanlah hendak menuntutkan bahaya itu, tetapi sebenarnya mereka telah
merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya, dan mereka mengetahui
bahwa kebanaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka.
Mereka bukan yang berlomba dan tidak termasuk barisan pendahulu pemeluk agama
Islam. Argumentasi apa sehingga mereka merasa berhak untuk ditaati oleh kaum
muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka
perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong mereka mengikuti kebenaran?!
Mereka telah menipu orang banyak dengan mengakui hendak menuntutkan bela
kematian Utsman, padahal tujuan mereka yang sesungguhnya ialah hendak menjadi
raja dan penguasa adikara!”
Kemudian diambilnya bendera
dengan tangannya, lalu dikibarkannya tinggi-tinggi diatas kepala sambil
berseru, “Demi Dzat yang menguasai jiwaku, saya telah bertempur dengan
mengibarkan bendera ini bersama Rasulullah SAW, dan inilah aku siap berperang pula
dengan mengibarkannya sekarang ini! Demi nyawa saya berada dalam tangan-Nya,
seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga berhasil mencapai kubu
pertahanan kita, saya tahu bahwa kita pasti berada di pihak yang haq, dan
mereka di pihak yang bathil”
Orang-orang mengikuti ‘Ammar,
mereka percaya kebenaran ucapannya. Berkatalah Abu Abdirrahman Sullami, “Kami
ikut serta dengan Ali r.a. dipertempuran Shiffin, maka saya melihat ‘Ammar bin
Yasir r.a. setiap ia menyerbu ke sesuatu jurusan atau turun ke suatu lembah,
para sahabat Rasulullah pun mengikutinya, tak ubahnya ia bagai penji-panji bagi
mereka”
‘Ammar teringat akan sabda
Rasulnya, “Ammar akan di bunuh oleh golongan pendurhaka,” sehingga ia
merasa peristiwa ini akan mengantarkannya menjadi syahid. Ia menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang menonjol dengan gagah
berani. Sebelum ia berangkat ke Rafiqul A’la, ia tanamkan pendidikan terakhir
tentang keteguhan hati membela kebenaran.
Berita tewasnya ‘Ammar segera tersebar, dan sabda
Rasulullah SAW yang didengar oleh semua sahabatnya, sewaktu mereka sedang
membina masjid di Madinah dimasa yang telah jauh sebelumnya, berpindah dari
mulut ke mulut.
Maka, sekarang jelaslah, siapa kiranya golongan
pendurhaka itu, tidak lain adalah golongan yang membunuh ‘Ammar: yaitu dari
pihak Mu’awiyah.
Dengan kenyataan ini semangat dan
kepercayaan pengikut-pengikut Ali kian bertambah. Sementara di pihak Mu’awiyah,
keraguan mulai menyusup kedalam hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia
hendak memisahkan diri dan begabung dengan Ali.
Setelah pemakaman ‘Ammar,
beberapa saat kemudian kaum muslimin berdiri kerheran-heranan dikuburnya?!
‘Ammar berdendang di depan mereka di atas arena perjuangan, hatinya penuh
dengan kemgembiraan, tak ubahnya bagi seorang perantau yang merindukan kampung
halaman, tiba-tiba dibawa pulang, dan terlontarlah seruan dari mulutnya:
“Hari ini aku akan
berjumpa dengan para kekasih tercinta, dengan Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya.”
Apakah ia telah mengetahui hari
yang mereka janjikan akan dijumpainya? Para sahabat saling jumpa-menjumpai dan
bertanya, “Apakah anda masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita
sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, dan wajahnya berseri-seri lalu
bersabda, “Syurga telah merindukan ‘Ammar.”
“Benar,” ujar yang lain. “Dan
waktu itu, juga disebutnya nama-nama yang lain, diantaranya: ‘Ali, Salman dan
Bilal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar